Benarkah Petani Indonesia diuntungkan oleh Regulasi Uni Eropa?
Petani Sawit Indonesia. Foto: Samade.or.id |
Direktur Sawit Watch Achmad Surambo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, mengatakan jika regulasi ini diterapkan dengan baik dalam persyaratan ketertelusuran dan transparansi, bisa menjadi pembuktian tidak ada deforestasi yang dilakukan oleh petani kecil dan perusahaan.
Sebagai contoh, lanjutnya, Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) akan diperkuat dengan data minyak sawit yang lebih baik dari pemetaan dan verifikasi seperti yang dipersyaratkan Uni Eropa dan dengan memasukkan Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCSA) sebagai cara untuk membuktikan tidak ada deforestasi yang dilakukan oleh petani kecil dan perusahaan.
“Penting bahwa beberapa amandemen yang diusulkan akan diambil dan elemen kemitraan dijabarkan lebih lanjut untuk menyelaraskan gagasan Indonesia dan Uni Eropa. Termasuk dalam hal peluang keuntungan bagi stakeholder, petani maupun negara produsen, atas praktik baik yang dilakukan, misalnya perlindungan hutan," kata Achmad.
Disebutkan, Regulasi UE tersebut akan berlaku untuk enam komoditas dan produk turunan, seperti kayu dengan termasuk kertas, sawit, kedelai, kopi, biji kakao, dan daging sapi.
Achmad menambahkan bahwa peluang pendekatan kemitraan antara Uni Eropa dan Indonesia harus menjadi elemen kunci dari proposal regulasi, sehingga memungkinkan UE untuk bekerja dengan Indonesia untuk memantau perdagangan minyak sawit dan komoditas lainnya, mendukung petani kecil, buruh dan masyarakat adat, serta membuka ruang bagi lembaga dan organisasi petani untuk berperan.
Seperti diketahui, sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sebagai mekanisme sertifikasi sawit Indonesia menerapkan praktik berkelanjutan dianggap belum cukup oleh internasional untuk menghentikan deforestasi karena hanya berhenti pada areal kawasan lindung moratorium.
Melalui RAN-KSB, lanjutnya, Indonesia punya mandat untuk memperkuat ISPO lewat penguatan data, resolusi konflik dengan masyarakat, dan membangun kapasitas petani. Mandat dalam RAN-KSB juga mendorong implementasi konkrit dari rantai pasok bebas deforestasi di tingkat daerah karena kontennya mewajibkan semua daerah memiliki basis data perizinan yang kuat.
Dengan fokus penguatan implementasi RAN-KSB di tingkat nasional dan daerah, masih menurut dia, ada potensi untuk mendorong diberlakukannya lagi kebijakan moratorium sawit untuk rantai pasok bebas deforestasi.
Kepala Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Marselinus Andri mengatakan SPKS sebagai salah satu organisasi petani swadaya di Indonesia, mengapresiasi rancangan regulasi Uni Eropa yang diusulkan oleh Komisi Eropa. Hal itu dikarenakan rancangan peraturan UE tersebut menjadi sangat penting bagi petani sawit di Indonesia, terutama petani swadaya.
Lebih lanjut, Andri mengatakan bahwa rancangan peraturan ini akan membantu petani swadaya untuk diakui secara hukum maupun dalam rantai pasok karena adanya persyaratan soal ketelusuran.
Secara khusus, SPKS sangat mendukung amandemen parlemen UE tentang kemitraan dengan negara produsen untuk mengatasi tantangan yang dihadapi petani kecil, dukungan teknis dan keuangan untuk geolokasi, dukungan untuk kepatuhan petani, peningkatan kapasitas dan mekanisme penetapan harga sebagaimana diatur dalam rancangan Regulasi Uni Eropa yang disebut "Deforestation-Free" tersebut.
“Hal ini harus dituangkan dalam roadmap yang akan diimplementasikan melalui kemitraan antara pembeli, produsen, dan petani kecil, yang diawasi oleh UE, yang bertujuan untuk menjamin akses pasar bagi petani kecil, mendukung petani kecil, praktik berkelanjutan, dan inisiatif konservasi hutan," kata Andri.***
Sumber: ANTARA