Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Universitas Besar yang Dikelola oleh BUMN Memblacklist Guru Gembul: Dilarang Berbicara di Kampus Tersebut!

Universitas Besar yang Dikelola oleh BUMN Memblacklist Guru Gembul: Dilarang Berbicara di Kampus Tersebut!
Guru Gembul
MANGENJANG.COM - Pada 2 November 2023, Guru Gembul, seorang YouTuber yang dikenal dengan salurannya yang berfokus pada topik pendidikan, merilis video terbaru dengan judul "REFLEKSI 1 JUTA PELANGGAN GURU GEMBUL CHANNEL. SAYA SUDAH MEMILIKI HATERS." Video ini menjadi sorotan, tidak hanya karena isinya, tetapi juga karena kontroversi yang diikuti. Saat menghadapi reaksi negatif dari sebuah universitas besar yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pertanyaan pun muncul: mengapa seorang pembicara seperti Guru Gembul harus memblacklist?

Universitas sebagai Pusat Pendidikan dan Diskusi Ilmiah

Universitas adalah lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi pusat pengetahuan, diskusi ilmiah, dan kritik yang konstruktif. Dalam konteks ini, guru, pembicara, atau dosen undangan sering diundang untuk berbagi gagasan, pengalaman, dan wawasan mereka dalam berbagai topik. Ini adalah bagian integral dari proses akademik yang memungkinkan pemikiran kritis dan perkembangan ilmiah.

Namun, kejadian yang menimpa Guru Gembul mengungkapkan ketidakwajaran dalam mengelola universitas. Guru Gembul, dalam seminar yang dihadiri oleh sejumlah mahasiswa dan dosen, mengkritik pembicara sebelumnya karena kesalahan dalam data yang disampaikan. Ini adalah tindakan yang seharusnya dianggap wajar dalam lingkungan akademik. Namun, reaksi yang dia terima justru sangat kontroversial. Dia diblacklist dan dilarang berbicara di kampus tersebut, dengan alasan bahwa pernyataannya diduga terkait dengan jaringan Islam liberal.

Kontroversi vs. Literasi Teknologi

Pertanyaan yang muncul adalah apa hubungannya antara literasi teknologi dan Islam liberal? Mengapa sebuah universitas besar yang dikelola oleh BUMN dapat memutuskan untuk memblacklist seorang pembicara hanya karena diduga terkait dengan hal-hal yang tidak relevan dengan topik yang dibahas? Ini adalah pertanyaan yang mengganjal dan memunculkan keraguan terhadap komitmen universitas dalam mendukung kebebasan berpendapat dan diskusi ilmiah yang terbuka.

Kritik yang Membuat Ketidaknyamanan

Guru Gembul juga dihadapkan pada tuduhan-tuduhan yang tidak benar, seperti memiliki afiliasi dengan kelompok Islam liberal atau kelompok lainnya. Namun, Guru Gembul menegaskan bahwa dia tidak berafiliasi dengan kelompok-kelompok tersebut. Hal ini menunjukkan ketidakadilan dalam memblacklist seseorang berdasarkan asumsi dan tidak fakta yang kuat.

Kritik dan Resistensi Terhadap Pendapat yang Berbeda

Kejadian ini juga mencerminkan resistensi masyarakat Indonesia terhadap kritik dan pendapat yang berbeda. Video-video Guru Gembul yang dihapus karena dianggap kontroversial adalah contoh nyata bagaimana masyarakat cenderung tidak menyukai kritik dan resisten terhadap pendapat yang berbeda. Kami tampaknya tidak terbiasa berdialektika dan terbuka dalam diskusi.

1 Juta Pelanggan Sebagai Teman Diskusi

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Guru Gembul merasa beruntung memiliki 1 juta pelanggan di saluran YouTube-nya. Dia melihat mereka sebagai teman-teman diskusi yang memiliki keraguan dan pertanyaan yang sama, tetapi mungkin tidak memiliki akses atau keberanian untuk mengungkapkannya. Ini adalah pengakuan atas peran penting audiens dalam proses diskusi dan perkembangan konten.

Variasi Konten dan Kepemimpinan

Guru Gembul juga ingin menekankan bahwa kontennya bervariasi, dan dia tidak selalu memihak pada satu pihak. Dia berupaya berbicara tentang apa yang dianggap benar tanpa pandang bulu. Hal ini menunjukkan komitmen untuk menjaga keragaman dan keadilan dalam berbicara tentang topik-topik yang beragam.

Kesimpulan

Kisah Guru Gembul dan pengalamannya dengan universitas besar yang dikelola oleh BUMN mengingatkan kita pada pentingnya menjaga kebebasan berpendapat, diskusi ilmiah yang terbuka, dan penilaian berdasarkan fakta. Universitas seharusnya menjadi tempat di mana ide-ide dan kritik yang konstruktif didengarkan, bukan diberangus. Dalam menghadapi perbedaan pendapat, penting bagi kita untuk menjalani dialog yang konstruktif dan menghargai keragaman perspektif.***