Optimisme Fiskal, Indonesia Mampu Jawab Tantangan 2022
Optimisme Fiskal, Indonesia Mampu Jawab Tantangan 2022 |
Di tengah-tengah memberikan laporan soal kinerja APBN 2021 di Jakarta, Senin (2/1/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap menyuarakan optimisme bahwa kondisi fiskal negara pada 2022 masih mampu menjawab pelbagai tantangan yang ada, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Menurutnya, realisasi APBN 2021 yang jauh melampaui target menjadi modal penting bagi pemerintah untuk melangkah lebih jauh dalam mendorong ekonomi keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19.
"Pendapatan negara melebihi target, belanja optimal, pembiayaan anggaran lebih efisien. Ini menjadi modal positif untuk transisi menuju konsolidasi fiskal 2023," ujarnya.
Harus diakui, semua itu tak lepas dari kerja keras pemerintah untuk mendongkrak aktivitas ekonomi. Di sisi lain, pemerintah juga berhasil mengendalikan kasus Covid-19.
Meningkatnya aktivitas ekonomi tidak lepas dari keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan kasus Covid-19 dan dukungan kebijakan stimulus ekonomi.
Tidak itu saja, faktor konsistensi untuk melakukan percepatan program vaksinasi di 2021 serta program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC PEN) telah terbukti efektif dalam menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Beberapa indikatornya, antara lain, berupa inflasi domestik yang terjaga dalam level yang rendah dan stabil, sementara stabilitas pasar keuangan juga relatif terjaga dengan baik, tercermin pada relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan pergerakan IHSG.
Di sisi lain, sektor perbankan juga relatif solid dengan tingkat kecukupan modal yang memadai, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh tinggi yang diikuti dengan mulai meningkatnya pertumbuhan kredit.
Fiskal Terkendali
Bagaimana kinerja APBN 2021? Secara umum pemerintah terus menjaga agar fiskal tetap terkendali.Membaiknya perdagangan global dan kinerja perekonomian domestik mendorong kinerja APBN tahun 2021 khususnya dari sisi pendapatan negara yang melebihi target APBN maupun capaian pra pandemi di tahun 2019 yang diikuti dengan pemberian insentif perpajakan bagi dunia usaha.
Di sisi lain, peningkatan harga komoditas turut mendorong perbaikan kinerja penerimaan dari sisi perdagangan internasional dan PNBP.
Sementara itu, belanja negara yang responsif serta fleksibel dapat dioptimalkan terutama untuk penanganan pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dengan kinerja positif dari pendapatan negara dan optimalisasi belanja, maka defisit dan pembiayaan utang dapat ditekan lebih rendah dari targetnya.
Defisit APBN 2021 dilaporkan mencapai Rp 783,7 triliun atau 4,65 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) (unaudited).
Defisit ini lebih rendah dibandingkan 2020 yang tercatat sebesar Rp947 triliun atau 6,14 persen, maupun target 2021 yang ditetapkan 5,7 persen dari PDB.
“Defisit di dalam APBN (2021) di desain Rp1.006 triliun atau 5,7 persen dari PDB. Tapi, realisasinya defisit Rp783,7 triliun, jauh lebih kecil atau 4,65 persen dari PDB. Jauh lebih baik dari yang kita estimasi,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers Realisasi APBN 2021 di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (3/12/2021).
Secara nominal, dibandingkan realisasi 2020, defisit anggaran 2021 turun 17,3 persen.
Dengan demikian, Menkeu menegaskan bahwa defisit semakin membaik, bahkan sudah di bawah 5 persen.
Defisit sepanjang 2021 tersebut terjadi akibat penerimaan negara tak sebanding dengan belanja negara pemerintah.
Pendapatan negara sebesar Rp 2.003,1 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp2.786,8 triliun seiring dengan program pemulihan ekonomi nasional.
Adapun total pendapatan negara hingga akhir z2021 sebesar Rp2.003,1 triliun tersebut mencapai 114,9 persen dari target yang ditetapkan Rp 1.743,6 triliun, atau naik 21,5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Rinciannya, penerimaan negara tersebut berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp1.277,5 triliun, kepabeanan dan cukai sebesar Rp269 triliun, serta PNBP sebesar Rp452 triliun.
Sedangkan belanja negara sepanjang tahun 2021 sebesar Rp2.786,8 triliun lebih tinggi Rp36,7 triliun dari target APBN 2021 Rp2.750,0 triliun.
“Realisasi belanja negara sudah mencapai 101,3 persen dari APBN 2021,” jelas Sri Mulyani.
Jika dibandingkan belanja negara pada 2020 sebesar Rp2.595,5 triliun, realisasi pada 2021 sudah tumbuh 7,4 persen yoy.
Sri Mulyani menjelaskan, motor penggerak belanja negara pada tahun lalu adalah belanja kementerian/lembaga (K/L) yang masuk ke dalam belanja pemerintah pusat.
Secara keseluruhan, belanja pemerintah pusat pada tahun lalu tercatat Rp2.001,1 triliun atau mencapai 102,4 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp1.954,5 triliun, atau tumbuh 9,2 persen yoy apabila dibandingkan dengan realisasi APBN 2020.
Belanja K/L mencapai Rp1.189,1 triliun atau mencapai 115,2 persen dari target APBN 2021 sebesar Rp1.032,0 triliun, atau tumbuh 12,2 persen yoy jika dibandingkan dengan 2020.
Sedangkan belanja non-K/L tercatat Rp812,0 triliun atau hanya 88,0 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp922,6 triiun. Namun, realisasi tersebut lebih tinggi 5,0 persen dari realisasi APBN 2020.
“Lebih baik dari capaian 2020 dan bahkan dari pra Covid-19 atau tahun 2019. Dalam hal ini, pemerintah pusat sudah belanja untuk bisa lakukan countercyclical gara-gara Covid-19 yang memang selain kebutuhan kesehatan dan bidang sosial, butuh juga untuk belanja lainnya,” tambah Sri Mulyani.
Di sisi lain, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), pemerintah telah merealisasikan Rp785,7 triliun atau baru mencapai 98,8 persen dari target APBN 2021 sebesar Rp795,5 triliun.
Penerimaan pajak tahun lalu tercatat mencapai Rp1.2775 triliun atau tumbuh 19,2 persen.
Di tengah sehatnya postur anggaran sepanjang 2021, harapannya pemerintah tetap perlu mewaspadai berbagai dinamika yang bisa menggoyahkan ketangguhan fiskal dalam menjaga momentum pemulihan ekonomi pada tahun ketiga pandemi Covid-19. (*)