Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cara Menghadapi Pelaku Emotional Blackmail

Purwakarta Online - Emotional Blackmail adalah pemerasan emosi yang dilakukan seseorang untuk membuat kita merasa bersalah jika  tidak menuruti apa yang diinginkannya.

Mungkin awalnya tidak terasa sebagai pemerasan atau ancaman karena dikemas dengan cara yang terselubung dan halus. 

Bukan dengan kata-kasar dan bernada keras tapi lebih berupa kata-kata memelas tak berdaya.

Sekali terjerat, mereka akan meneruskan teknik yang sudah dianggap berhasil dan kita akan masuk dalam sarang laba-laba itu. 

Kita dibuat menjadi tidak tega dan kasihan sehingga mengorbankan perasaan, kepentingan bahkan harga diri kita untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Mereka mengancam secara tidak langsung dan tidak kelihatan bahwa akan ada hukuman jika kita tidak melakukan apa yang diinginkan.

Kebanyakan Emotional Blackmail dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita. 

Mereka tahu betapa kita menghargai relasi dengan mereka, tahu kelemahan dan rahasia kita. 

Mereka memanfaatkan informasi ini agar memberikan hasil yang mereka inginkan.

Jika percaya kepada pelaku, maka kita terjatuh dalam suatu pola dan membiarkan mereka mengendalikan keputusan dan perilaku kita.

Menurut Susan Forward, Phd., Emotional Blackmail menciptakan kabut FOG (Fear, Obligation, Guilt). 

Kabut ini mengaburkan, karena pelaku membuat kita nyaris tidak bisa melihat bagaimana mereka memanipulasi kita, membuat kita ketakutan jika kita menentang, merasa wajib mengikuti cara mereka dan merasa bersalah jika tidak melakukan.

Pelaku menggunakan Emotional Blackmail sebagai kunci untuk merasa aman dan berkuasa. 

Perilaku ini muncul akibat derajat kecemasan yang tinggi, ketakutan yang berkaitan dengan masa lalu mereka. 

Mereka membuat benteng pertahanan untuk melawan perasaan itu dengan Emotional Blackmail.

Cobalah kita meneliti adakah Emotional Blackmail pernah kita alami ataukah justru kita pelakunya ?

Contoh Kasus Emotional Blackmail:

1. Ella yang sedang menjalin hubungan dengan Edo, sering disudutkan oleh permintaannya Edo yang tiba-tiba mengajak ke suatu tempat. 

Ketika Ella tidak bisa karena ada deadline pekerjaaan, maka Edo akan mengatakan Ella tidak mencintai, tidak menyayangi, tidak mempunyai perhatian dan pengertian padahal semua yang diperbuatnya adalah untuk membahagiakan Ella. 

Dihadapkan hal seperti itu, Ella merasa sangat bersalah dan merasa sangat buruk karena dalam suatu hubungan seharusnya saling perhatian dan mencintai. 

Lihat, seolah tidak ada yang salah kan ? Apakah sudah seharusnya Ella menuruti Edo, bukankah cinta adalah give and take ?

Ella mengalami hal ini berulangkali, dan akhirnya dengan terpaksa menurutinya walau mengorbankan perasaan dan kebutuhan sendiri. 

Pada saat Ella benar-benar terjepit, tidak berdaya, tidak dapat menurutinya, yang didapat adalah ancaman dari Edo untuk putus hubungan.

2. Devi sering mendapat telpon dari ibunya, seorang janda dengan keluh kesah yang tidak terbendung. 

Semua disalahkan, keadaan, orang disekelilingnya bahkan cuaca. 

Sebagai anak tunggal, Devi merasa bersalah karena tidak bisa membawa ibunya ke tempat tinggalnya di apartemen. 

Selain karena kamarnya pas-pasan, ibunya juga tidak mau tinggal di tempat yang menurutnya tidak menjejak bumi.

Ibunya terus saja menyalahkan Devi yang menyebabkan dia tinggal hanya dengan pembantu. 

Jurus Emotional Blackmail pun diluncurkan, hari ini dia mengeluh sakit kepala dan minta Devi menjenguk segera, menyebabkan kepentingan anak dikorbankan karena tidak bisa mengantar.

Hari lain dengan keluhan lemas seperti akan mati. Sehingga terpaksa Devi membatalkan undangan penikahan. 

Begitu seterusnya, diselingi dengan kata-kata, “Kamu senang ya kalau Ibu sudah tidak ada, kamu tidak tahu perjuangan Ibu membesarkan kamu seorang diri,” dst.

Emotional Blackmail membutuhkan keterlibatan dua pihak seperti sebuah transaksi, tetapi jika sudah mengenali, kita dapat menolak untuk dijadikan target. 

Harga yang dibayar jika terus menerus melayani Emotional Blackmail ini sangat besar. 

Kita merasa tidak tenang, merasa sangat buruk, didera rasa bersalah, meragukan kemampuan diri sendiri, tidak yakin dengan diri sendiri serta self esteem yang merosot. 

Akhirnya akan merusak kita dan kita akan kehilangan kontak dengan integritas kita, dimana kompas nilai dan moral kita berada.

Bagaimana cara menghadapi ?

Kurangi dan atasi perasaan bersalah (guilty feeling). Perasaan itu akan lenyap jika kita bertindak sehat dan tegas sehingga pelaku tidak berdaya.

Jangan bersikap reaktif ketika berhadapan dengan pelaku, endapkan dulu kata-katanya, analisa dan putuskan untuk mengganti dengan pilihan positif.

Berikan penolakan untuk dilukai, jangan jadikan ancaman-ancaman sebagai sesuatu yang serius

Binalah relasi sehat dan baru antara kita dan pelaku. Jika perilaku mereka tidak bisa berubah, kitalah yang berubah dalam merespon dan memutuskan. (*)