Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

50 Perempuan di Kongo Mengaku Jadi Korban Pelecehan Seks oleh Staf WHO

pelecehan seks kongo,staf WHO perkosa wanita kongo,berita dunia,skandal PBB,skandal WHO,Ragam,
50 Perempuan di Kongo Mengaku Jadi Korban Pelecehan Seks oleh Staf WHO
Purwakarta Online - World Health Organization (WHO) berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh setelah kasus pemerkosaan yang dilakukan stafnya di Republik Demokratik Kongo. Kasus itu mencuat pasca komisi penyelidikan independen WHO merilis laporan, yang mendapati 21 staf WHO melakukan pelecehan seksual selama wabah ebola melanda Kongo pada 2018-2020.

Sejak laporan itu dirilis, Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus langsung meminta maaf kepada para korban. Salah satu badan PBB itu mendapat tekanan dari para donor untuk segera memberi tanggapan.

"WHO berkomitmen untuk memastikan bahwa penderitaan para penyintas dan keluarga mereka adalah katalis untuk transformasi budaya WHO yang mendalam,” kata Tedros pada Kamis (22/10/2021), dikutip dari AFP.

1. WHO Danai Rp107 M untuk Benahi Sistem

Pasca skandal seksual di Kongo, WHO Janji Lakukan Reformasi Organisasi Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Berdasarkan penuturan Tedros, tujuan evaluasi WHO adalah menciptakan budaya kerja yang tidak membuka celah bagi eksploitasi dan pelecehan seksual.

“Tidak ada pula impunitas jika itu terjadi dan tidak ada toleransi untuk tidak bertindak," janji Tedros.

Sebagai komitmen awal, WHO telah mengalokasikan dana sebesar 7,6 juta dolar AS (Rp107 miliar) untuk memperkuat kapasitasnya dalam mencegah, mendeteksi, dan menanggapi tuduhan penyerangan seksual di 10 negara, termasuk Afghanistan, Ethiopia, dan Venezuela.

Salah satu skema dalam langkah reformis itu adalah tindakan cepat dan audit bisa segera dilakukan jika ada laporan dari korban.

2. WHO: Kasus Pelecehan Seks di Kongo Bahan Evaluasi

Proyeksi jangka menengah, WHO bertujuan melakukan perombakan total melalui istilah yang Tedros sebut sebagai reformasi struktur dan budaya yang komprehensif. Tedros mengatakan, para korban dan penyintas akan menjadi jantung reformasi WHO, demi memperkuat akuntabilitas individu dan manajemen organisasi.

Salah satu bahan evaluasi adalah faktor budaya dan struktural yang hidup di Kongo, sehingga memicu para staf WHO melakukan pelecehan seksual. Dalam laporan komisi independen, disoroti tentang ketimpangan gender dalam kepemimpinan operasional dan tim respons WHO. Tedros menggambarkan laporan itu sebagai sesuatu yang ‘mengerikan’.

“Kekerasan seksual selalu tidak dapat diterima, tetapi sangat keji ketika dilakukan terhadap orang-orang yang rentan oleh orang-orang yang dipekerjakan untuk melayani dan melindungi mereka", jelas Tedros.

3. Modus Pelaku Pelecehan Seks

Sebagai informasi, lebih dari 50 perempuan di Kongo mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh staf WHO. Laporan dari komisi menyebut ada 83 tersangka pelecehan seksual, dan 21 di antaranya bekerja untuk WHO, dikutip dari CNN.

Ada pun modus pelecehan, dilaporkan NPR, diungkap oleh perempuan berusia 43 tahun. Kejadian bermula saat dia menemui staf WHO untuk mengikuti interview kerja, sebagai penyuluh demi meningkatkan kesadaran warga Kongo terhadap Ebola. Namun, dalam wawancara itu, ia mengaku diperkosa setelah menolak hubungan badan yang diminta petugas, sebagai imbalan untuk mendapatkan pekerjaan yang dicarinya.

Fakta lain yang terungkap adalah perempuan yang bekerja di komisi pengawas Ebola, dituntut untuk memberi layanan seks kepada bosnya, yang seorang dokter dan bekerja untuk WHO. Jika perempuan itu tidak mau, maka setengah gaji bulanan akan dipotong. Kemudian, ada pula laporan soal pengemudi WHO yang menawari perempuan 13 tahun pulang. Tapi kepada penyidik, perempuan itu mengaku justru dibawa ke hotel lokal lalu diperkosa sehingga ia hamil. (*)

Sumber: IDN Times