Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Bang Haji bikin gaduh! Sekulerisme Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 79/2021

Screenshot Salinan Dokumen Perbup Purwakarta Nomor 79/2021

Oleh: Ikhsan Firmansyah

Selalu menarik untuk membaca dan belajar menelaah regulasi apapun terutama yang terkait dengan Desa, itu mungkin sudah bawaan orok yang dibesarkan oleh uang hasil kuli “ngarcis pasar” ibuku yang sangat luar biasa. Hasrat membaca tentang aturan kemudian juga terpupuk karena hobi yang selama ini ditekuni yaitu hobi menjadi Pagawe Desa (Perangkat Desa).

Peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah baik berupa Peraturan Daerah, Peraturan Bupati atau peraturan lainnya adalah “kitab sucinya” bagi warga masyarakat dan bagi pemerintah desa, terutama aturan-aturan yang terkait langsung dengan tata Kelola pemerintahan desa.

Ada rambu-rambu yang wajib dipatuhi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di semua level pemerintahan di negeri ini, itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-undang ini mutlak wajib dipatuhi oleh pembuat regulasi dan menjadi syarat sah-nya suatu peraturan.

Dengan kata lain, apabila ada hal yang terlewatkan atau terabaikan dalam sistematika penyusunan peraturan perundang-undangan maka dapat dipastikan perundang-undangan tersebut batal demi hukum. Belum lagi jika mengkaji hal-hal yang bersifat esensial terkait isi peraturan tersebut, ini dapat berpotensi gugatan hukum.

Banyak hal menarik dalam aturan terbaru tentang pemilihan kepala desa di Kabupaten Purwakarta yang tertuang dalam Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 79 Tahun 2021 tentang Pemilihan Kepala Desa ini, menarik untuk dikupas meski tipis-tipis.

Akan terlalu capek jika harus menghitung jumlah kesalahan dalam tata cara penulisan “EYD” dalam peraturan Bupati ini, mungkin bisa puluhan bahkan sampai ratusan kesalahan tata cara penulisan baik yang berupa penyematan tanda baca, struktur kalimat dll. Belum lagi jika menelisik lebih mendalam tentang esensi sebuah kalimat. Banyak terjadi ketimpangan antar pasal, banyak pula kalimat yang berpotensi multitafsir.

Itu butuh kajian lebih mendalam lagi oleh para pakar tata negara dan ahli bahasa.

Di samping kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam batang tubuh peraturan Bupati ini, kesalahan terbesar dan paling fatal justru terdapat pada halaman pertama lembar peraturan Bupati nomor 79 Tahun 2021 ini.

Halaman pertama yang menjadi wajah keseluruhan isi yang semestinya wajib secara sempurna disusun, malah ternyata mengandung “aib” yang tidak termaafkan secara hukum. Asumsi saya malah, peraturan bupati ini mutlak tidak sah karena kesalahan fatal tersebut.

Ada aturan dalam Undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan dalam peraturan apapun yang dibentuk oleh pemerintah yaitu menyematkan frasa:

“DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”

Yang ditulis kapital dengan posisi marjin tengah.

Aturan penyematan frasa “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA” ini mengandung makna yang sangat dalam secara filosofis, sehingga diatur khusus dalam UU nomor 11 Tahun 2012.

Dari berbagai sumber kajian disimpulkan bahwa frasa tersebut adalah sebagi bentuk pengakuan terhadap bangsa Indonesia terhadap adanya Tuhan yang Maha Esa, dapat juga berarti sebuah kesadaran bahwa setiap perundang-undangan yang dibentuk secara vertikal bertanggungjawab langsung kepada Tuhan yang Maha Esa sebagai sebuah aturan yang mencakup kepentingan umat banyak (Rakyat).

Secara garis besar frasa “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA” adalah sebuah sumpah secara langsung kepada Tuhan bahwa bangsa ini yang diwakili oleh si pembuat kebijakan mengakui Dzat Tuhan dalam setiap keputusan yang dibentuk.

Sebagai konsekwensinya adalah “semestinya” peraturan-peraturan yang dibentuk wajib dilaksanakan dengan pertimbangan kemanusiaan dan Ketuhanan.

Kembali pada Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 79 Tahun 2021 tentang Pemilihan Kepala Desa, pada peraturan ini tidak mencantumkan frasa “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”. Ini sudah pasti tanpa sengaja dan hanya merupakan kelalaian seluruh elemen penanggungjawab pembentuk perundang-undangan tersebut. Mulai dari penulis, tim pengkaji hingga para pejabat yang menandatangani dalam lembar peraturan Bupati ini.

Mengerikan jika membahas akibat dari kelalaian di atas, baik secara hukum, moral maupun efek secara umum dari sebuah peraturan yang “legalitasnya” sangat diragukan.

Peraturan tanpa menyematkan frasa “ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA” bisa jadi dimaknai sebagai sekularisme.

Dalam hati saya masih berharap, Salinan peraturan bupati yang saya terima adalah bukan yang sebenarnya ditandatangani Bupati. Jadi segala asumsi-asumsi hukum sebagaimana saya tulis di atas menjadi batal.


Salam
Pagawe Desa

*Artikel ini telah dipublikasikan di Kompasiana dan PagaweDesa.com