Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Biografi Syeikh Abdul Qodir Al-Jilani. Bagian 4/5

//Mujahadah dan Riyadhah Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani

“Selama aku tinggal di gurun, di luar kota Baghdad, semua keindahan dunia telah datang menggodaku. Allah SWT Wa Adzuma Sya’nuh telah memberikanku kemenangan atasnya. Nafsuku mengunjungiku setiap hari dalam wujud dan bentukku sendiri dan meminta untuk menjadi temannya. Ketika aku akan menolaknya, ia hendak menyerangku, Allah SWT memberiku kemenangan dalam perlawananku dan pada waktunya aku dapat menjadikannya tawananku dan menahannya bersamaku selama tahun-tahun itu serta memaksanya untuk tinggal di runtuhan padang pasir."

"Satu tahun penuh aku telah memakan rumput-rumputan (dedaunan) dan akar-akarnya yang kutemukan dan aku tidak meminum air apa pun, tahun yang lain aku meminum air tetapi tidak makan apa pun, tahun selanjutnya aku makan, tidak minum ataupun tidur. Sepanjang waktu itu, aku hidup dalam runtuhan dari istana raja-raja Kuno Parsi di Kurkh (kharkhi). Aku berjalan dengan kaki telanjang (tanpa alas kaki) diatas duri padang pasir dan tidak merasakan suatu apa pun."

"Setiap kali aku melihat sebuah batu atau bukit yang terjal (curam) atau juram aku memanjatnya, aku tidak memberikan istirahat satu menit pun atau menyenangkan nafsuku kepada keinginan-keinginan rendah badaniku (Jasmani). Pada akhir dari masa tujuh tahun itu, aku mendengar satu suara pada suatu malam, “Hai Abdul Qadir,engkau sekarang diizinkan memasuki Kota Baghdad!”

"Aku tiba di Baghdad dan melewatkan beberapa hari di sana. Segera aku tidak dapat berada dalam keadaan yang hasutan,kejahatan,tipu daya telah menjadi kebiasaan kota. Lalu untuk menyelamatkan diriku sendiri dari kejahatan kota yang mengalami kemerosotan akhlak dan menyelamatkan keimananku, aku meninggalkannya, hanya kitab suci Al-Quran yang kubawa bersamaku."

"Ketika tiba dipintu gerbang dalam perjalanan untuk berkhalwat (menyendiri) di padang pasir , aku mendengar satu suara, “kemana engkau hendak pergi?” kata suara itu, “kembalilah,engkau harus melayani orang-orang.”

“Apa yang dapat kupedulikan tentang orang lain?” aku menyanggah (menyangkal/menolak), “aku ingin menyelamatkan keimananku., “kembalilah dan jangan pernah merasa bimbang terhadap keimananmu, “suara itu melanjutkan (meneruskan) “tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakanmu”.

"Aku sungguh tidak dapat melihat orang yang berkata tersebut (itu), kemudian sesuatu terjadi kepadaku. Aku terputus dari keadaan lahiriyah lalu tenggelam dalam keadaan tafakur, sampai hari berikutnya aku memusatkan fikiran pada sebuah harapan dan berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla agar Dia membukakan selubung untukku sehingga aku tahu apa yang harus aku lakukan."

"Hari berikutnya, ketika tengah berkeliling (bersiar-siar) di sebuah permukiman (penempatan) bernama Mudzaffariyyah, seorang lelaki yang sebelumnya tidak pernah kulihat membuka pintu rumahnya dan mempersilakan untuk aku masuk, “mari Abdul Qadir!”.

"Ketika aku sampai dipintunya, dia berkata “katakan kepadaku, apa yang engkau harapkan dari Allah? Doa apa yang telah engkau panjatkan kemarin?”

"Saat itu aku ketakutan, namun diliputi penuh ketakjuban, aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjawabnya, lelaki itu memandang ke wajahku dan menghempaskan pintu dengan kasar sehingga membuatkan debu yang berkumpul di sekelilingku menutupi seluruh tubuhku, aku berjalan pergi sambil bertanyakan apa yang telah kuminta dari Allah SWT sehari sebelumnya."

"Kemudian aku teringat, lalu aku segera balik kembali untuk mengatakan kepada lelaki tersebut tetapi aku tidak dapat menemukannya baik rumah ataupun dirinya. Aku sangat bimbang ketika menyedari bahwa dia adalah seorang yang dekat kepada Allah Ta’ala, sungguh akhirnya aku mengetahui beliau adalah Syeikh Hammad Ad-Dabbas yang telah menjadi guruku”.

"Pada suatu malam yang dingin dan hujan gerimis, satu tangan yang tidak terlihat jelas membawa Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani ke tempat bermalam para sufi (zawiyah) milik Syeikh Abdul Hammad bin Muslim Ad-Dabbas. Syeikh yang mengetahui berkat Ilham Ilahiyah tentang kedatangan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani menutup pintu-pintu tempat menginap Shufiyah (zawiyah) dan memadamkan lampu."

"Ketika beliau duduk diambang pintu yang terkunci, beliau tertidur, beliau berihtilam (mimpi basah) dimalam hari, lalu dia mandi di sungai dan mengambil wudhuk, dia tertidur lagi dalam hal yang sama terjadi sampai tujuh kali pada malam itu, maka beliau mandi dan mengambil air wudhuk dalam sedingin es."

"Pada harinya, pintu gerbang telah terbuka dan Abdul Qadir memasuki tempat penginapan sufi (zawiyah), Syeikh Hammad Ad-Dabbas berdiri menyambutnya sambil meneteskan air mata gembira, dia memeluknya dan berkata “Wahai putraku Abdul Qadir!”, keberuntungan/keuntungan adalah milik kami hari ini, tetapi esok hal itu akan menjadi milikmu. Jangan pernah (jangan sekali-kali) meninggalkan Tareqat (jalan) ini.”

Syeikh Hammad Ad-Dabbas menjadi guru pertama Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam ilmu pengetahuan tentang kesufian dengan memegang tangannya dia mengucapkan sumpah (bai’at) dan mengikuti jalan kaum sufi.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani RA menceritakan:

“Aku banyak belajar dengan guru di Baghdad tetapi setiap kali aku tidak dapat memahami sesuatu atau menemukan secara kebetulan suatu rahasia yang ingin aku ketahui Syeikh Hammad Ad-Dabbas menerangkan kepadaku, kadang-kadang aku meninggalkannya untuk mencari pengetahuan dari Syeikh (guru) yang lain tentang tauhid, hadis,fiqh dan ilmu-ilmu lainnya."

"Setiap kali aku kembali, beliau berkata kepadaku, “Dari mana saja engkau?” kita telah memiliki demikian banyak makanan yang sangat bagus untuk tubuh ,fikiran dan jiwa kita, sementara engkau telah pergi dan kami tidak dapat menahan sesuatu untukmu!”

Pada waktu lain, Beliau berkata:

“Demi Allah, kemana engkau pergi? Adakah seseorang disekitar sini yang mengetahui lebih banyak daripadamu?"

Para darwisnya (para Sufi) akan mengusikku secara terus menerus dan berkata:

“engkau adalah seorang ahli hukum (ahli fiqih), seorang ahli sastera, seorang ahli pengetahuan dan seorang Ulama (alim Syariat), urusan apakah yang engkau miliki diantara kita? Mengapa engkau tidak keluar dari sini?”

Syeikh (Hammad Ad-Dabbas) memarahi mereka dan berkata:

“Betapa memalukan kalian ini! Aku bersumpah bahwa tidak ada seorang pun seperti dia diantara kalian, tidak ada seorang pun diantara kalian yang akan naik di atas jari kakinya, jika kalian berfikir aku kasar terhadapnya dan engkau meniruku, aku melakukannya untuk membawanya kepada kesempurnaan dan mengujinya, aku melihat dia dalam dunia spiritual yang keras seperti batu, besar seperti gunung.”

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan contoh tauladan terbesar dari kenyataan bahwa dalam Islam mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban suci untuk semua orang lelaki dan perempuan dari ayunan (buaian) hingga liang kubur. 

Dia menjadi orang bijak terbesar dizamannya, dia menghafal Al-Quran Al-Karim dan mempelajari penafsirannya (tafsir) dari Ali Abul Wafa Al-Qail, Abu Khaththab Mahfuzh dan Abul Hasan Muhammad Al-Qadhi.

Menurut beberapa sumber, Abdul Qadir Al-Jailani belajar dengan Qadhi Abu Sa’id Al-Mubarak bin Muharrami, ulama terbesar pada zamannya di Baghdad. Meskipun telah mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan tentang jalan mistik dari Syeikh Hammad Ad-Dabbas dan memasuki jalan tasawuf melalui tangannya, namun Syeikh Abdul Qadir Al-Qadir Al-Jailani telah diberi Khirqah (jubah kesufian) sebagai simbol dari jubah Rasulullah SAW oleh Qadhi Abu sa’id.

Garis silsilah ijazah spiritual dari Qadhi Abu Sa’id Al-Mubarak bin Ali Al-Muharrami melalui Syeikh Abu Hasan Ali bin Muhammad Al-Qurasyi,dari Abul Faraj Ath-Thursusi dari At-Tamimi dari Syeikh Abu Bakar Asy-Syibli dari Abul Qasim Al-Junaid dari Sari As-Saqathi dari Ma’ruf Al-Khurkhi dari Dawud Ath-Tha’iyah dari Habib Al-Jamiy dari Hasan Al-Bashri dari Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Imam Ali menerima Khirqah (jubah kesufian) dari tangan mulia Nabi Muhammad SAW kekasih Allah,Tuhan semesta alam dan beliau menerimanya dari malaikat utama Jibrail AS yang menerimanya dari kebenaran Tuhan Allah Azza Wa Jalla.

Seseorang bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, Apakah yang dia terima dari Allah Ta’ala?

Beliau menjawab tingkah laku dan pengetahuan yang baik.

Qadhi Abu Sa’id Al-Muharammi berkata:

“Sesungguhnya Abdul Qadir Al-Jailani menerima Khirqah dari tanganku, tetapi aku juga menerima Khirqah dari tangannya.”

Qadhi Abu Sa’id Al-Muharrami mengajar di sebuah madrasah miliknya sendiri di Babul Azj di Baghdad, kemudian dia memberikan madrasah tersebut kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang mulai mengajar disana.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a telah berusia lima puluh tahun lebih pada wakti itu. Kata-kata dan ucapannya mempersonakan dan menakjubkan sehingga menggugah (membangkitkan) hati orang-orang yang mendengarnya.

Para murid dan jemaahnya semakin berkembang pesat dalam jumlah yang banyak sehingga tidak ada tempat, baik di dalam ataupun di sekitar madrasah tersebut untuk menampung para pengikutnya.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a berkata mengenai permulaan mengajarnya, “pada suatu pagi aku melihat Rasulullah SAW, beliau bertanya kepadaku, mengapa engkau tidak berbicara? 

"Aku berkata, aku adalah orang Persia/parsi (beliau lahir di Parsi), bagaimana aku dapat berbicara dengan Bahasa arab yang indah dari Baghdad?"

“Buka mulutmu,” 

Beliau berkata, dan ku lakukan perintah beliau. Nabi Muhammad SAW lantas meniup nafasnya ke mulutku tujuh kali lalu berkata:

“Pergilah,tunjukilah umat manusia dan ajaklah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan bijak dan kata-kata indah.”

Aku menjalankan solat zuhur,dan aku melihat ramai orang sedang menungguku berbicara. Ketika melihat mereka aku menjadi gembira,namun lidahku seakan-akan terkunci.

Kemudian aku melihat Imam Ali bin Abi Thalib yang diberkati. Dia mendatangiku dan memintaku untuk membuka mulutku, kemudian meniupkan nafasnya sendiri ke dalam mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya:

“Mengapa anda tidak melakukannya sebanyak tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah SAW?"

Sayyidina Ali r.a berkata:

"kerana rasa hormatku kepada beliau Rasulullah SAW”. 

Kemudian Sayyidina Ali r.a pun menghilang.

Dari mulutku yang terbuka, keluarlah kata-kata:

"Sesungguhnya fikiran adalah juru-selam,menyelam jauh ke dalam lautan hati untuk menemukan mutiara kebijaksanaan (hikmah), ketika dia membawanya ke pantai kemakhlukannya, dia tumpah dalam bentuk kata-kata dari bibirnya dan dengan itu dia membeli ketaatan tak ternilai di pasar-pasar ibadah Allah SWT.”

Kemudian aku berkata, “dalam suatu malam, seperti salah satu dari malamku, jika seseorang diantaramu hendak membunuh keinginan-keinginan rendahnya,kematian akan terasa begitu manis sehingga engkau tidak akan dapat merasakan sesuatu yang lain di dunia ini.”

Sejak saat itu, walau dalam apa keadaan sekalipun bangun atau tidur ,aku tetap mempertahankan tugasku mengajar. Banyak sekali pengetahuan tentang keimanan dan agama dalam diriku, jika tidak berbicara dan menuangkannya keluar, aku akan merasakan bahwa hal itu akan menenggelamkan diriku. 

Ketika pertama kali mengajar, aku hanya mempunyai dua atau tiga orang murid sahaja, ketika mereka mendengarku, jumlah mereka bertambah menjadi tujuh puluh ribu orang.”

Madrasahnya, maupun lingkungan/kawasan disekitarnya tidak dapat menampung para pengikutnya, oleh sebab itu, dicarilah tempat yang lebih luas. 

Orang kaya dan orang miskin di Baghdad turut membantu dalam penambahan bangunan-bangunan yang baru. 

Mereka yang kaya membantu dengan dana(wang), manakala yang miskin membantu dengan tenaga (kerja) mereka, termasuklah kaum perempuan yang turut membantu bekerja.

Kelak Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani,semoga Allah menyucikan jiwanya. Beliau merupakan seorang Imam,ahli dalam masalah-masalah keagamaan,tauhid dan fiqh dan pemimpin dari mazhab Syafi’I dan Hambali dalam Islam. 

Beliau adalah seorang yang sangat bijaksana dan berpengetahuan luas,seluruh manusia mendapat manfaat darinya. Doanya segera dikabulkan, baik ketika berdoa untuk kebaikkan dan berdoa untuk hukuman. 

Dia adalah seorang yang banyak melakukan banyak keajaiban (karamah), manusia sempurna, yang selalu sedar serta ingat kepada Allah Azza Wa Jalla, merenung (muraqabah), berfikir, menerima dan memberi pelajaran.

Dia mempunyai hati yang lembut,sifat yang mulia dan wajah yang selalu tersenyum, dia orang yang peka dan memiliki sikap yang sangat baik, berakhlak dalam tabiat serta dermawan dalam memberi materi (wang) dan nasihat serta pengetahuan. 

Dia mencintai orang-orang, tetapi secara khususnya terhadap orang-orang yang beriman dan mengabdikan serta beribadah kepada Dzat Yang Maha Esa, menolong kepada siapa yang beriman.

Dia tampan selalu berpakaian rapi, pembicaraannya (kata-katanya) tidak berlebihan dan sia-sia. Apabila berbicara, meskipun dia berbicara dengan cepat tetapi setiap kata dan suku katanya yang keluar terdengar jelas. 

Beliau berbicara dengan penuh keindahan dan dia berbicara kebenaran. Bicara tentang kebenaran tanpa ragu-ragu karena dia tidak peduli dirinya apakah dia akan dipuji, dikritik atau dicaci.

Ketika Khalifah Al-Muqtafi mengangkat Yahya bin Sa’id sebagai kadi (ketua hakim), Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani menuduhnya dihadapan orang ramai, dengan mengatakan:

"Anda telah mengangkat seorang tiran (orang yang zalim) yang paling buruk sebagai hakim atas orang-orang yang beriman. Biarlah kita lihat bagaimana anda akan menjawab untuk diri anda sendiri kelak ketika anda dihadapkan kepada Hakim Maha Agung, Allah Azza Wa Jalla Tuhan alam semesta.”

Mendengar hal ini, Khalifah tergoncang dan meneteskan air mata, lalu ia segera memecat sang hakim.

Penduduk Kota Baghdad mengalami kemajuan dalam hal akhlak dan rohani dan tingkah laku. Melalui pengaruhnya, kebanyakkan warga kota bertaubat dan menyatakan penyesalan, mengikuti akhlak yang baik dan perintah-perintah Islam. 

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dicintai dan dihormati oleh setiap orang, dan pengaruhnya tersebar kemana-mana. Orang-orang berbudi mencintainya, sedangkan para tiran (orang yang zalim) dan orang jahat takut kepadanya. 

Banyak orang termasuk para raja,menteri dan orang-orang bijak datang kepadanya untuk menanyakan persoalan-persoalan dan mencari penyelesaiannya, bahkan banyak orang Yahudi dan Nasrani menerima Islam melaluinya.

Dalam pengajaran dan pelayanannya (khidmatnya) kepada umat manusia, dia menggunakan sifat-sifat yang diwarisi oleh Yang Maha Tinggi.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a berkata:

"Seorang Syeikh spiritual (Sufi) bukan seorang guru yang sebenarnya, kecuali kalau dirinya memiliki/mempunyai dua belas sifat. Dua diantara sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat Allah Yang Maha Tinggi, yaitu menyembunyikan kesalahan manusia dan ciptaan yang lain, tidak hanya dari orang-orang lain tetapi bahkan dari diri mereka sendiri, dan memiliki perasaan terharu (kasihan) dan kemauan memaafkan untuk dosa yang terburuk sekalipun."

Dua sifat diwarisi oleh Nabi Muhammad SAW yaitu cinta dan lemah lembut. Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a yang pertama dari keempat khalifah, seorang Syeikh (guru) sejati, mewarisi kebenaran, kejujuran, dan keikhlasan hati, juga ketaatan dan kemurahan hati (kedermawanan).

Dari Sayyidina Umar bin Khattab r.a, yaitu keadilan dan menekankan kebenaran serta mencegah kesalahan. Dari Sayyidina Utsman bin Affan r.a yaitu, kerendahan hati dan bangun serta berdoa ketika manusia lainnya dalam keadaan tertidur dan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a, yaitu pengetahuan dan keteguhan hati serta keberanian (kependekaran).

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a sangat sayang kepada puluhan ribu pengikutnya sebagaimana seorang ayah sayang kepada anaknya. 

Dia mengetahui nama dan memperhatikan masalah-masalah duniawi juga keadaan spiritual mereka, dia membantu dan menyelamatkan mereka dari bencana kemalangan, bahkan jika mereka berada di tempat jauh sekalipun. 

Dia adalah seorang ayah bersama anak-anaknya dan memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan dan keharuan (belas kasihan). 

Kepada orang yang lebih tua darinya, dia seolah-olah menjadi lebih tua daripada mereka dan memperlakukan mereka dengan hormat.

Dia menjalinkan persahabatan dengan kalangan orang miskin dan lemah, serta tidak pernah mencari teman diantara orang-orang terkenal dan berkuasa, orang-orang seperti itu memperlakukannya seolah-olah raja dari segala raja.

Salah seorang dari anak lelaki pembantunya menceritakan bahwa ayahnya, Muhammad bin Al-Khaidir melayani Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani selama tiga belas tahun, dirinya tidak pernah melihat seekor lalat hinggap pada dirinya dan tidak pula dia pernah melihat membuang hingus (di khalayak ramai). 

Meskipun Tuan Syeikh memperlakukan kaum lemah dan miskin dengan rasa hormat yang besar, pembantunya tidak pernah melihatnya berdiri ketika para sultan (penguasa) datang mengunjunginya dan tidak pula dia mengunjungi mereka atau dia tidak memakan makanan mereka kecuali sekali.

Ketika seorang raja datang berkunjung kepadanya, dia meninggalkan ruang jamuan dan datang kembali setelah raja dan pesta jamuannya selesai, sehingga mereka akan menyambutnya dengan berdiri.

Ketika dia menulis surat kepada khalifah, dia mengatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani memerintahkan dia untuk melakukan ini atau itu dan bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi khalifah untuk mentaatinya karena dia adalah pemimpin mereka. 

Apabila khalifah menerima surat seperti itu,dia akan mencium surat itu sebelum dia membacanya dan berkata:

"Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani benar, sesungguhnya dia mengatakan kebenaran!”.

Abu Hasan, salah seorang hakim agung pada masa itu menceritakan:

"Aku mendengar Khalifah Al-Muqtafi berkata kepada menterinya, Ibnu Hubaira, “syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mentertawakanku dan hal itu amat jelas bagi orang-orang di sekitarnya bahwa yang dia maksudkan adalah aku. Dilaporkan kepadaku bahwa dia menunjukkan sebuah pohon kurma di kebunnya dan berkata, “engkau lebih baik bekerja, jangan bepergian (berjalan) terlalu jauh atau aku akan memenggal kepalamu!”.

Sekarang kamu, wahai Ibnu Hubaira, pergi dan berbicaralah kepadanya seorang diri dan katakan, “anda jangan mengejek dan mengancam kahlifah, anda harus tahu bahwa kedudukan khalifah adalah suci dan harus dihormati”, sang menteri Ibnu Hubaira pergi kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dan melihatnya sedang berkumpul dengan kerumunan orang ramai. Dalam perbicaraannya pada satu pokok, tiba-tiba dia menyatakan, “sesungguhnya aku akan memenggal kepalanya juga”.

Sang menteri merasa bahwa yang Syeikh maksudkan adalah dia dan merasa takut serta ngeri, dia pun melarikan diri dan mengatakan apa yang terjadi kepada khalifah. Sang khalifah menitiskan air mata dan berkata:

"Sungguh, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah orang yang hebat”, 

Lalu dia pergi menemui Syeikh untuk dirinya sendiri, Syeikh telah memberinya banyak nasihat dan khalifah menangis dan terus menangis.

Meskipun sangat belas kasihan dan memiliki pribadi dan sikap yang sangat baik, lemah lembut dan mencintai, menepati janji, adil dan keras dalam pengadilannya, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a tidak pernah memperlihatkan kemarahan yang ditujukan kepada dirinya.

Tetapi sesuatu tindakan kesalahan dilakukan terhadap keimanan dan agama, dia akan marah besar dan memberi hukuman yang berat.

Syeikh Abu Najib As-Suhrawardi menceritakan:

"Pada tahun 523 H, aku bersama Syeikh Hammad, guru Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang juga hadir, ketika itu Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani membuat pertanyaan keras, mendengar itu, Syeikh Hammad berkata kepadanya, “wahai Abdul Qadir,engkau berbicara terlalu angkuh! Aku khuatir Allah tidak redha kepadamu”.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mletekkan tangannya di atas dada Syeikh Hammad lalu berkata, “lihat telapak tanganku dengan mata hati” dan berkata lagi, “dan katakan kepadaku apa yang tertulis diatasnya?”

// L A N J U T ....... Ke Artikel Biografi Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani. Bagian 5/5