Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Si Kijing (5): Meraih mesra Nyai Arsawati


:::cerita bersambung

Cerita sebelumnya:
Si Kijing (4): Romantisme masa lalu


Merasa ada yang salah dengan kejiwaannya, Si Kijing berusaha bersikap senormal mungkin. Tapi sebaliknya, sikap Si Kijing yang yang tampak dibuat-buat, malah meyakinkan warga bahwa 'orang asing' ini memang lain dari orang normal pada umumnya, pasti dia memang gila.

Beban pikiran Si Kijing semakin berat. Setiap malam susah tidur, setiap pagi susah bangun. Suatu hari menjelang tengah malam, di kursi tepas rumah Si Kijing kembali menggembala lamunan. Menunggu datangnya kantuk agar robohkan raga lelahnya.

Tanpa kantuk yang sangat, rasanya Si Kijing tidak akan pernah bisa tidur. Saat matanya mulai terasa rapat, tapi tiba-tiba muncul sosok wanita kejutkan kantuk dan lamunan!

"Saha...!!!" Teriak Si Kijing, terkejut.

"Saha èta?", tanya Si Kijing dengan suara agak pelan.

Wajahnya mendongkak ke depan, seperti tidak yakin dengan apa yang ia lihat. Tampak seperti melihat wajah dan dada yang pernah ia kenali. Di ujung halaman rumah Kades Adiwira, di tepi kebun, Nyai Arsawati sunggingkan senyuman manisnya. Lambaikan tangan, isyarat ajak Si Kijing untuk mendekatinya.

Si Kijing berdiri terperanjat, balas senyuman Nyai Arsawati. Tanpa berpikir lagi, menghambur dekati perempuan bertelanjang dada itu. Wanita cantik, yang bertubuh sintal, berkulit sawo matang, bertelanjang dada, yang sungguh ia kenal sewaktu tersesat di jurang hutan sukma. Sosok yang senantiasa hantuinya setiap malam.

Hatinya senang bukan kepalang, wanita yang teramat ia rindukan. Kini ada di hadapan. Hampir diraihnya tubuh 'Sang Pujaan Syahwat'. Tiba-tiba Nyai Arsawati berbalik badan, berlari menjauh. Tapi senyum, tatapan mata dan lambaian tangan Nyai Arsawati isyaratkan agar Si Kijing mengejarnya. Seperti mengajaknya menuju 'jurang kenikmatan'.

"Nyai....!!!", teriak Si Kijing di kegelapan malam. Habis sudah kesadarannya, Si Kijing terus mengejar.

Nyai Arsawati terus berlari, sesekali menoleh ke belakang. Menggoda, menantang Si Kijing untuk terus dan terus mengejarnya. Tanpa sadar Si Kijing masuk jauh ke dalam hutan. Lelah, kerinduan dan syahwat saling menguatkan.

Semakin dalam dan semakin dalam masuki hutan, kegelapan malam semakin diabaikan. Tibalah di ujung hutan, melompat ke padang rumput luas nan hijau yang tak berujung. Mungkin ini halaman surga, pikir Si Kijing.

Seolah melompat ke dimensi lain, seketika langit menjadi siang, sangat terang dan hangat. Hamparan rumput semakin indah. Jika berguling-guling berduaan di rerumputan seperti di film india, pasti akan terasa sangat romatis.

Si Kijing berhenti, lambaikan tangan tanda menyerah. Nyai Arsawati menoleh, ikut hentikan larinya. Dengan nafas terengah-engah, Si Kijing menggelepar terlentang di rerumputan indah.

Ilustrasi

Tengadah memandang indah langit biru terang sayup, seraya berkata lirih, "Nyai hayu...nyai hayu...akang teu kuat...", kejantanannya berdetak mengeras.

Nyai Arsawati menunduk, memandang wajah Si Kijing dengan mesranya. Senyumnya seakan jadi jawaban 'iya' pada ajakan syahwat Si Kijing. Tiba-tiba....Nyai Arsawati duduk mesra di bawah perut Si Kijing. Si Kijing membucah isi dada. Degup lelah nafasnya berganti menjadi degup gelinjang nafsu syahwat.

"Ini kesempatan yang ingin ku curi waktu itu", gumamnya dalam hati.

Tatatapan selembut sutera Nyai Arsawati, mendorong Si Kijing untuk segera lampiaskan hasrat. Diraihnya buah-buah Nyai Arsawati. Bibir Nyai Arsawati hampir mendarat di bibir Si Kijing, Nyai berbisik:

"Cèp gugah...cèp! Hujan. Ngalih ka lebet. Isin, seueur tamu....", ujar Adiwira. Sang Kades pagi itu kedatangan banyak tamu.

Si Kijing bangun dari kursi tepas, hari sudah terang.

"Anying...!!!", gumamnya kesal. Hampir saja Adiwira diludahi.

:::bersambung

Cerita selanjutnya: Si Kijing (6): Studi Ganja