Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

PBNU gelar Halaqoh Fiqih Peradaban di 250 Ponpes, untuk dibahas dalam Muktamar Internasional bersama 300 Ulama Dunia menjelang 1 Abad Nahdlatul Ulama!

PBNU gelar Halaqoh Fiqih Peradaban di 250 Ponpes, untuk dibahas dalam Muktamar Internasional bersama 300 Ulama Dunia menjelang 1 abad Nahdlatul Ulama
Halaqoh Fiqih Peradaban di Ponpes Cipulus, Purwakarta (Foto: MangEnjang.com)
MANGENJANG.COM, Purwakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Halaqoh Fiqih Peradaban, Fiqih Siyasah dan Kewarganegaraan dengan tema 'Fiqih Siyasah NU dan Pembentukan Karakter Beragama'.

Acara berlangsung di Gedung Al-Husna, Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyyah, Cipulus, Wanayasa, Kabupaten Purwakarta hari ini (Rabu, 7/12/2022).

Dengan pembicara diantaranya KH Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam PBNU), KH Hasbillah Hadamy (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyyah), KH Zulfa Musthofa (Wakil Ketua PBNU) dan Dr. Ahmad Ginanjar S (Filolog Islam).

Halaqoh Fiqih Peradaban ini merupakan kegiatan yang digagas oleh Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf.

Menurut salah satu pembicara, yaitu KH Ulil Abshar Abdalla, Kyai Yahya menyampaikan gagasan ini pada Pebruari 2022.

Kemudian mulai dieksekusi pada Agustus 2022, yang mencakup 250 titik lokasi acara di seluruh Indonesia.

"Digagas pada Pebruari tahun ini (2022), mulai dieksekusi Agustus dijadwalkan selesai pada Desember (2022)," ujar Kyai Ulil kepada Purwakarta Online, Rabu (7/12/2022).

Lokasi acara berbasis Pondok Pesantren, mulai dari Aceh hingga Nusa Tenggara.

"250 titik pesantren di seluruh Indonesia, Aceh hingga Nusa Tenggara," lanjut Kyai Ulil

Tujuan dari Halaqoh Fiqih Peradaban ini adalah mengajak para kyai untuk terlibat dalam diskusi ilmiah dalam berbagai bidang keilmuan.

"Untuk mengajak kyai-kyai terlibat diskusi ilmiah dari berbagai latar belakang keilmuan," kata Kyai Ulil.

Adapun cara yang ditempuh salah satunya adalah dengan mendialogkan kitab kuning, agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan situasi saat ini.

"Mendialogkan kitab kuning untuk menjawab realistis kekinian. Mendorong para Kyai merumuskan gagasan baru yang berangkat dari tradisi pesantren," terang Kyai Ulil.

Oleh karena itu, Halaqoh Fiqih Peradaban ini diikuti oleh para Kyai pesantren terutama di jajaran syuriah.

KH Ulil Abshar Abdalla juga menegaskan jika Halaqoh Fiqih Peradaban ini berbeda dengan Bahtsul Masail yang biasa dilakukan sebelumnya di kalangan Kyai NU.

"Beda dengan Bahtsul Masail, yang lebih banyak membahas kasus per kasus, dengan dasar teks kitab kuning," terang Kyai Ulil.

Berkembangnya peradaban manusia diiringi dengan munculnya berbagai fenomena baru yang tidak ada sebelumnya.

Ada banyak hal yang belum dibahas dan disepakati oleh ulama di dunia.

"Umat Islam hidup di jaman baru ini, di negara bangsa, bagaimana tinjauannya dari sudut keagamaan?" Ucap Kyai Ulil.

"Agar hukum syariat dan fiqih bisa jalan bersama. Bagaimana mengelola hubungan dengan umat lain," lanjut Kyai Ulil.

Dipandang sangat penting, adanya kesepakatan ulama di dunia. Jika tidak maka akan berpotensi munculnya masalah diantara masyarakat di dalam negaranya sendiri.

"Penting. Jika tidak selesai bisa muncul masalah serius dalam kehidupan kita," tegas Kyai Ulil.

250 Halaqoh Fiqih Peradaban digelar hingga Desember, namun akan berpuncak pada Halaqoh Internasional, yang akan diselenggarakan 7 Pebruari 2023, menjelang 1 abad Nahdlatul Ulama.

Halaqoh Internasional akan dihadiri oleh 300 ulama dari berbagai negara di dunia.

"Puncaknya adalah Halaqoh Internasional. Menjelang 1 abad Nahdlatul Ulama, akan undang 300 kyai dan ulama dari berbagai negara," ujar Kyai Ulil memberi bocoran.

Setelah selesai 250 Halaqoh Fiqih Peradaban di seluruh Indonesia, hasilnya akan direkap dan menjadi bahasan 300 ulama dunia.

"Nanti hasil Halaqoh Fiqih Peradaban di 250 titik di Indonesia ini akan dibawa ke Halaqoh Internasional tersebut," ujar Kyai Ulil.

Halaqoh Internasional tersebut akan membahas masalah-masalah yang dihadapi umat Islam hari ini, terutama masalah yang belum ada dan belum disepakati oleh para ulama di jaman dahulu.

"Dengan harapan akan mendorong ulama dunia menyepakati rumusan dasar ( bagaimana berislam di jaman ini)," ujar Kyai Ulil.

KH Ulil Abshar Abdalla memberikan contoh, bahwa sebetulnya para ulama belum tegas menyepakati bagaimana bernegara dengan konsep yang baru muncul di jaman ini.

"Contoh apakah kita masih butuh negara khilafah atau tidak? Mau negara nasional atau negara khilafah?" Kyai Ulil memberikan contoh masalah yang perlu dibahas ulama jaman ini.

Contoh selanjutnya adalah bagaimana cara berhubungan dengan minoritas serta bagaimana cara mengatasi radikalisme dalam beragama.

"Bagaimana cara berhubungan dengan minoritas? Bagaimana mengahadapi radikalisme?" pungkas Kyai Ulil.***