Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ekonomi Pancasila harus diterapkan, bukan hanya dicantumkan


PurwakartaOnline.com - Pengalaman pahit krismon 1997-1998 meyakinkan kita semua betapa besar arti perekonomian nasional yang benar-benar mandiri. Ekonomi mandiri adalah ekonomi yang, meskipun tumbuh dengan laju relatif rendah, tetapi dalam jangka panjang terjaga keberlanjutannya. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi etik yang pernah didambakan oleh (alm) Prof. Ace Partadiredja (1981) yaitu sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai budaya dan ideologi bangsa Indonesia ialah Pancasila.

Harapan saya yang tertinggi adalah munculnya suatu ilmu ekonomi yang tidak memberikan kesan sebagai ilmu yang mengajarkan keserakahan atas alam benda, dan tidak memberikan kesan sebagai suatu ilmu yang mekanistik, melainkan sebagai ilmu yang tidak hanya model-modelnya relevan tapi juga model-model itu didasarkan pada asumsi yang realistik, etik, dan berwajah kemanusiaan yang dijiwai oleh etika, ekonomika etik (ethical economics) sebagaimana ekonominpolitik pada saat dilahirkannya pada abad 18. Mungkin ilmu baru itu dapat dinamai Ekonomi Pancasila.

Pemerintah Orde Baru, yang “bersumpah” melaksanakan pancasila dan UUD 1945 “secara murni dan konsekuen”, bertekad untuk mewujudkan kemerataan pembangunan dannkeadilan sosial. Tetapi keinginan ini tidak pernah terwujud karena strategi pembangunan dan politik ekonomi, sebagaimana berulang-ulang dikritik oleh Bung Hatta, didasarkan pada liberalisme sehingga seperti biasa, persaingan pasar yang liberal selalu dimenangkan oleh yang kuat (konglomerat) dan melunglaikan yang lemah.

Pada tahun 1981 kami menulis: Ekonomi Indonesia kelihatannya sehat dari luar tetapi pemeriksaan yang mendalam menunjukkan ia sedang sakit kanker, dus penyakit yang sangat berbahaya, obatnya hampir tidak ada. Dalam bahasa ekonomi kelompok ini mengatakan sistem ekonomi Indonesia sekarang ini salah. Ia harus diubah secara fundamental dengan menerapkan sistem ekonomi Pancasila, bukan sistem ekonomi kapitalis liberal.

Pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1981 yang “menenggelamkan” pemikiran ekonomi Pancasila UGM mengatakan antara lain bahwa sistem ekonomi Pancasila “sudah ada” di dalam ideologi Pancasila dan pasal 33 UUD 1945, dan “tidak usah dicari-cari apalagi dengan teori-teori dari luar Indonesia”. Terbukti bahwa 16 tahun sesudah pernyataan tersebut keinginan untuk mewujudkan cita-cita ekonomi Pancasila tidak kesampaian, bahkan nampak makin menjauh sehingga berakhir dengan meledaknya bom waktu krismon tahun 1997.

Maka pada sidang-sidang BP-MPR 1997-1998 pemikir-pemikir “kesiangan” berusaha merumuskan konsep-konsep sistem ekonomi Pancasila dengan menyebutkan kata ekonomi Pancasila sebanyak 9 kali dalam GBHN 1998, tetapi dengan menghapus kata-kata ekonomi rakyat yang telah disebut 25 kali dalam GBHN 1993.

Pemikiran kembali ke Ekonomi Pancasila yang tertunda 16 tahun ini (1981-1997) terbukti sangat terlambat, karena jurang kaya miskin sudah menganga terlalu lebar. Maka tercemarlah nama Pancasila dan ekonomi Pancasila, dan pada awal reformasi sampai sekarang orang tetap enggan dan cenderung “alergi” pada istilah ekonomi Pancasila.

Orang beranggapan (secara keliru) bahwa munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang bermuara pada krismon adalah justru karena Indonesia telah “melaksanakan” ekonomi Pancasila. Kesalahkaprahan ini harus diluruskan melalui kajian-kajian serius.

REVOLUSI GAGASAN MENUJU EKONOMI PANCASILA


Tanggal 12 Agustus 2002 UGM mendirikan PUSTEP (Pusat Studi Ekonomi Pancasila) yang kemudian disambut pembentukan Komisi Ad Hoc Kajian Ekonomi Pancasila pada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Pendirian PUSTEP-UGM ini kemudian diikuti pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) di Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa tanggal 16 Agustus 2003 semuanya berkehendak menyumbang teori-teori dan ilmu ekonomi (asli) Indonesia yang benar-benar memberi manfaat pada masyarakat/bangsa Indonesia khususnya wong cilik.

Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi baru yang masih harus diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini “dianut” bangsa Indonesia. Bibit-bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat perdesaan dalam bentuk usaha-usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Seorang pengemudi ‘speedboat’ Zamrani (26th) yang hanya tamat SD 6 tahun menegaskan “Ekonomi Pancasila dalam Aksi” di dalam pelayanan jasa transpor di Sungai Mahakam Kaltim, yaitu di antara 79 ‘speed’ dan 60 taksi yang semuanya dimiliki warga Kota Bangun. ‘Speed’ hanya melayani penumpang Melak -Kota Bangun pulang-pergi (Kutai Barat dan Kutai Kartanegara), sedangkan taksi Kijang dan lain-lain kendaraan “mini-bus” untuk jurusan Kota Bangun-Tenggarong-Samarinda, dan Balikpapan. “Bagi-bagi rezeki” ala ekonomi rakyat di Kota Bangun inilah bukti nyata telah diterapkannya asas-asas ekonomi Pancasila di Kalimantan Timur.

Adapun mengapa praktek-praktek kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem (aturan main) ekonomi Pancasila ini tersendat-sendat, alasannya jelas karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan berpihak pada konglomerat. Ketika terjadi krismon 1997-1998, meskipun keberpihakan pemerintah pada konglomerat belum hilang tetapi gerakan ekonomi kerakyatan yang dipicu semangat reformasi memberikan iklim segar pada berkembangnya sistem ekonomi Pancasila yang berpihak pada ekonomi rakyat.

Pembentukan PUSTEP UGM tepat waktu untuk mengisi kevakuman sistem ekonomi nasional, ketika sistem ekonomi kapitalis liberal di Indonesia sedang digugat, dan sistem ekonomi kerakyatan sedang mencari bentuknya yang tepat dan operasional. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan dan tegas-tegas ditolak oleh teknokrat “keblinger”, yang begitu silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal dari Barat (Amerika).

PUSTEP UGM bertekad melakukan kajian-kajian kehidupan riil (real life) sehingga dapat membakukan ilmu ekonomi tentang kehidupan riil (real-life economics) dari masyarakat Indonesia/bangsa Indonesia. Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, ... janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan.

Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila (Soekarno, 1 Juni 1945).

Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno di dalam Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, mengibaratkan bangsa Indonesia sudah mendekati “jurang kehancuran”, maka reformasi lebih-lebih yang tambal-sulam jelas tidak akan memadai. “kapal” Indonesia harus dibalikkan arahnya. Itulah revolusi bukan sekedar reformasi.

Kompleksitas krisis multidimensi sekarang dan beratnya beban kesulitan mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan besar dan inisiatif tingkat tinggi. Tindakan besar yang dimaksud adalah suatu tindakan fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi, atau bahkan perang.

Justru inilah suatu bentuk nyata “jihad akbar” yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan subjektivisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar walaupun pahit karena bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok. (*)

* Baca selengkapnya dalam Jurnal yang berjudul MENUJU SISTEM EKONOMI PANCASILA: REFORMASI ATAU REVOLUSI. Ditulis pada tahun 2004, oleh Mubyarto dari Universitas Gadjah Mada