Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Perkembangan teknologi Jepang pasca Perang Dunia kedua (Bagian 3)

rahasia-kemajuan-bangsa-negara-jepang-wanita-gadis-seksi-cantik-tradisional-sexy-geisha-pasca-perang-dunia

Imajinasi sains dan teknologi oleh tiga kelompok, yakni intelektual kiri, teknokrat, dan birokrat reformis, untuk melihat bagaimana kelompok tersebut memahami dan mendefinisikan teknologi terkait dengan ideologi dan visi yang akan dituju. 

Diskursus teknologi berkembang dan berubah tergantung pada siapa yang mendiskusikan dan tujuan dari orang dan kelompok tersebut.

Ketiga kelompok tersebut, menurut Moore, adalah kelompok yang berpengaruh pada dinamika pemikiran tentang teknologi di Jepang. Namun, Moore tidak membahas secara mendalam bagaimana imajinasi teknologi kelompok militer.

Berbicara tentang mobilisasi sumber daya di wilayah kekuasaan Jepang tidak bisa lepas dari peranan militer saat itu. Contohnya, beberapa proyek infrastruktur yang dibangun di berbagai wilayah imperialisme mendapat dukungan dari militer.

Teknologi dalam Pandangan Intelektual Kiri Saigusa Hirota, seorang pakar sejarah teknologi, menjelaskan bahwa perdebatan gijutsu atau teknologi menjadi wacana publik pada awal 1930 ketika pemerintah Jepang mulai mengirim insinyur, teknisi, dan tenaga ahli untuk membangun daerah kolonial di Asia (Moore, 2013, 21).

Pada periode 1930–1940-an, perdebatan makna teknologi terjadi di kalangan birokrat, kaum intelektual, dan insinyur. Secara garis besar, ada dua pemikiran besar tentang teknologi di Jepang. 

Pertama, pemikiran kelompok sayap kanan yang melihat teknologi sebagai sesuatu yang mengikis semangat spiritual dan nilai-nilai tradisional yang berpusat pada kekaisaran serta mencoba membentuk ilmu pengetahuan dan teknologi Jepang yang unik.

Kedua, pemikiran kelompok insinyur, birokrat, dan pengusaha yang melihat teknologi sebagai sesuatu yang dapat menyelesaikan masalah sosial, dan mereka mengampanyekan penggunaan teknik manajemen dan administrasi yang lebih rasional.

Moore menjelaskan secara lengkap bagaimana perubahan pandangan kelompok kiri terhadap teknologi, dari melihatnya hanya sebagai alat produksi menjadi melihat teknologi dari aspek yang lebih luas, yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan budaya.

Hal tersebut membantu memahami daya tarik imajinasi teknologi dan nilai yang terkandung di dalamnya yang bermanfaat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi tinggi setelah Perang Dunia.

Istilah gijutsu atau “teknologi” dalam bahasa Jepang berasal dari istilah klasik China yang digunakan pada era pramodern dan awal modern Jepang. 

Pada masa Tokugawa (1603–1868), gijutsu diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan dasar samurai, seperti perilaku, musik, seni memanah, berkuda, menulis, dan aritmatika.

Pada masa Restorasi Meiji, gijutsu oleh filsuf Nishi Amane diartikan sebagai seni mekanik. 

Pada 1871, Kementerian Pekerjaan Umum, yang bertugas mengawasi pengenalan teknologi dari negara Barat seperti jaringan komunikasi dan pembangunan rel kereta api, menggunakan istilah gijutsu dalam dokumen formal.

Seiring dengan pergeseran industri ringan ke industri berat pasca-Perang Dunia I, gijutsu semakin populer dimaknai sebagai sebuah materi atau teknologi buatan manusia. 

Perkembangan industri kimia, metalurgi, listrik, komunikasi, dan sistem transportasi, serta perkembangan institusi penelitian di universitas memperluas makna teknologi sebagai sesuatu yang terkait dengan hal nonmaterial atau kreativitas.

Perdebatan tentang teknologi mulai menonjol di kalangan ilmuwan sosial dan akademis. Mereka memaknai teknologi tidak hanya sebatas mesin dan sistem teknis, tetapi termasuk pola pikir, kreativitas, efisiensi, dan tanggung jawab sosial (Moore, 2013).

Perdebatan tentang teori teknologi dalam jurnal Marxist Yuibutsuron Kenkyu (Studi tentang materialisme) pada periode 1932–1935 menjelaskan perdebatan teori kontemporer teknologi diantara para ilmuwan. 

Marxism masuk ke Jepang pada awal abad ke-20 dan digunakan sebagai kerangka untuk menganalisis isu-isu sosial, termasuk isu teknologi.

Aikawa Haruki, yang dikenal pula dengan nama Yanami Hisau, adalah salah satu intelektual kiri yang memiliki perhatian terhadap isu teknologi pada masa perang. 

Pada awalnya, Aikawa mendefinisikan teknologi sebagai suatu material, yakni sistem alat produksi pekerja.

Dalam hal ini, Aikawa mempersempit makna teknologi dalam konteks kapitalisme Jepang dan menganalisis pengaruh teknologi terhadap memburuknya sistem kapitalisme semi feodal di Jepang. 

Aikawa aktif dalam komunitas komunis sejak 1930 dan berpartisipasi dalam perdebatan kapitalisme Jepang. Akibat aktivitasnya sebagai intelektual kiri, Aikawa bersama 32 orang lainnya ditangkap pada Juni 1935. 

Aikawa mengakui telah mengorganisasi kegiatan ilegal yang dituduhkan kepadanya, tetapi keberatan dianggap sebagai penganut teori ekonomi Marxist dan menolak definisinya tentang teknologi semata sebagai bentuk material.

Perubahan pandangan Aikawa terhadap teknologi tidak dijelaskan dalam buku ini (Moore, 2013, 31). Aikawa mulai mendukung militer Jepang pada awal perang dengan China pada 1937. 

Perjalanan Aikawa ke China pada 1938 telah menggugah pemikirannya tentang kebudayaan, intelektual, dan pembentukan pengetahuan yang terpusat dalam rangka pembangunan Asia.

Dalam tulisannya yang berjudul “Teori Teknologi Modern” pada 1941, Aikawa menjelaskan bahwa teknologi terkait dengan praktik dan produksi seperti yang telah dilakukan Jepang untuk membentuk new order di Asia. 

Selain itu, Aikawa melihat percepatan pembangunan dan industrialisasi, pendidikan buruh dan petani kecil, serta promosi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sebuah integrasi teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Dalam tulisannya yang berjudul “Introduction to a theory of technology”, Aikawa berpendapat teknologi sebagai “living concept” dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi adanya krisis spiritual yang disebabkan oleh penggunaan teknologi (Moore, 2013).

Aikawa tetap melihat teknologi sebagai sebuah alat, tetapi menolak pendapat awalnya yang menyatakan teknologi sebagai sistem alat produksi. Teknologi tidak hanya dilihat sebagai suatu alat, tetapi juga mengandung nilai, tujuan, dan ide manusia.

Sebagai seorang intelektual yang berfokus pada isu teknologi, Aikawa aktif menjadi editor dalam jurnal Japan Technology Association dan Technology Review, serta menulis dalam beberapa jurnal teknokratik. 

Selain itu, Aikawa aktif dalam pertemuan ilmiah National Policy Research Association dan grup think tank birokrat. Ia juga terlibat dalam penyusunan program pemerintah terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa perang. 

Aikawa adalah salah satu komite Japan Technology Association yang memberikan usul kepada kabinet untuk membentuk organisasi insinyur dan teknisi sebagai bagian dari new order untuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hal tersebut menjadi salah satu usaha Aikawa mempromosikan peningkatan peran dan status insinyur dalam pemerintahan melalui proses pembangunan daerah koloni, peningkatan inovasi, dan pemanfaatan teknologi di tempat kerja. 

Selain itu, Aikawa mengusulkan kepada pemerintah untuk memanfaatkan teknologi sebagai alat mobilisasi pada masa perang dengan memanfaatkan teknologi secara nyata, terutama di wilayah-wilayah kolonial.

Menurut Aikawa (Moore, 2013, 45), perang tidak hanya dilihat sebagai modernisasi sistem ekonomi semi-feodal melalui perencanaan ekonomi dan mobilisasi. 

Perang juga dianggap sebagai upaya Jepang membangun new order di Asia Timur dan bebas dari imperialisme Barat yang hanya menekankan pada eksploitasi sumber daya alam (Moore, 2013).

Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Jepang berfokus pada pembangunan industri berat di Jepang. 

Sementara pembangunan daerah koloni dilakukan berdasarkan pada production technology industri berat, eksploitasi, serta pengolahan sumber daya alam, produksi energi, dan manajemen tenaga kerja.

Oleh karena itu, produksi teknologi adalah kombinasi dari tiga elemen, yakni alat produksi, keahlian dan kemampuan teknik, serta sumber daya alam. 

Hal tersebut merupakan salah satu strategi yang dilakukan untuk membebaskan negara-negara di Asia Tenggara dari kolonialisme Barat dan membangun wilayah koloni untuk menyokong industrialisasi Jepang (termasuk Taiwan, Korea, dan Manchukuo).

Contohnya adalah pembangunan dam yang bertujuan menghasilkan listrik guna memenuhi kebutuhan energi sektor industri. 

Untuk mengetahui potensi pengembangan industri berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh suatu wilayah, Aikawa memetakan potensi pengembangan sumber daya alam, seperti:
  • bauksit di sekitar Sungai Asahan dan di Kota Medan, Sumatera Selatan; 
  • batu bara di Tonkin Delta sekitar Hanoi dan Haiphong di Indochina; 
  • nikel di Danau Laguna, Manila, Filipina; 
  • serta potensi sumber daya alam lainnya di berbagai wilayah di Asia Tenggara.

Setiap wilayah yang memiliki sumber daya alam akan dikembangkan dan terintegrasi dengan transportasi, pabrik pengolahan, sumber energi, pabrik industri, serta pusat kota yang sebelumnya tidak dilakukan oleh negara Barat sebagai negara penjajah. 

Jepang berencana membangun kota bekas jajahan negara Barat menjadi kota yang lebih produktif.

Kota-kota tersebut dikelompokkan menjadi tiga tipe, yakni kota pusat pertanian (Mandalay, Bandung, dan Saigon), kota pusat pertambangan (Palembang, Padang, dan Hanoi), serta kota industri (Singapura, Surabaya, dan Jakarta). 

Kota-kota tersebut dibangun berdasarkan pada potensi sumber daya yang dimiliki, tetapi diintegrasikan dengan sektor industri C-51.

Pemetaan pengembangan sumber daya yang dilakukan oleh Aikawa diduga didukung intelijen Jepang yang ada di negara-negara Asia Tenggara. 

Gin (2011, 17) menjelaskan adanya agen intelijen Jepang yang menyusup ke dalam perusahaan dagang, agen pemerintah, organisasi sosial, organisasi politik, dan individu sebelum Jepang berinvasi ke negara di Asia Tenggara. 

Intelijen tersebut bertugas mengumpulkan berbagai informasi tentang kondisi lokal, geografi, penduduk lokal, serta informasi strategis, seperti basis militer dan pelayaran.

Pemetaan sumber daya dilakukan oleh Jepang untuk mengembangkan bisnis yang sebelumnya telah dibangun di negara-negara Asia Tenggara, seperti perusahaan Boruneo Niippon Susishan Kaisha (Perusahaan Perikanan Jepang Borneo) yang berada di Pulau Tawau, Kuhara Mining Company (Perusahaan Tambang Kuhara), dan Borneo Shokusan Kabuishiki Kaisha (Perusahaan Promosi Pembangunan Borneo) yang bergerak di bidang perkebunan karet (Gin, 2014).

Komunitas Jepang di Indonesia sudah ada jauh sebelum kedatangan tentara Jepang pada 1942. Pada permulaan abad ke-20, komunitas Jepang sebagian besar berada di Sumatera Timur, Sumatera Barat, dan Batavia. 

Sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang bekerja sebagai pelacur, sedangkan laki-laki Jepang bekerja sebagai pedagang. 

Toko Jepang menjadi fenomena dalam sejarah kehadiran orang Jepang di Indonesia dan mempunyai jaringan yang luas. Pada 1913, berdirilah Asosiasi Masyarakat Jepang (Nihonjikai), yang sebagian besar anggotanya merupakan pemilik atau pengelola toko-toko Jepang (Asnan, 2011). (*)

* Tinjauan Buku yang berjudul IMAJINASI TEKNOLOGI DAN FASISME JEPANG TAHUN 1931–1945 Aaron Stephen Moore. Constructing East Asia: Technology, Ideology, and Empire in Japan’s Wartime Era 1931–1945. Stanford University Press, 2013), oleh Upik Sarjiati dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2016
* Foto: Pexels