Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Masa depan agama, era 4.0 pasca pandemi corona. part 1

Oleh: Ramlan Maulana

Dalam sebuah diskusi, teman saya pernah bercerita, bahwa di Jepang konsultasi keagamaan itu seringkali dilakukan secara virtual.

Dan yang menjawab persoalan yang dikonsultasikannya itu bukan manusia (ahli agama) melainkan robot atau mesin yang sudah disetting sedemikian rupa untuk menjawab setiap pertanyaan seputar agama. 

Mendapati cerita tersebut saya berpikir bahwa bukan tidak mungkin, kalau hal serupa akan terjadi juga di Indonesia, pemikiran saya tersebut didasarkan kepada kenyataan yang terjadi belakangan ini. 

Fenomena instan dalam beragama sudah nyata terjadi di tengah kita saat ini. 

Betapa banyak orang yang mendapati persoalan dalam masalah agama, dia secara instan mencari jawabannya, langsung menanyakannya ke "Mbah google".

Dan mengkonsultasikan persoalan tersebut tanpa peduli jawaban dari "mbah google" itu bersumber dari ahli agama atau bukan.

Yang terpenting apa yang tertulis dari hasil pencarian mbah google, maka itu yang dipegang sebagai jawaban. 

Jadi, saat ini telah terjadi pergeseran Otoritas ulama (ahli agama) tergantikan oleh mahluk yamg dinamakan "algoritma". 

Mesin berupa komputer dengan internet sebagai nyawanya, yang telah menggantikan manusia dalam segala aspek, termasuk Agama.

Fenomena di atas, sebetulnya sudah diramalkan oleh Prof. Harari, seorang penulis buku best seller "Sapiens" dan "Homedeus". 

Beliau meramal melalui analisisnya, bahwa kedepan manusia akan kehilangan tak cuma dominasinya atas dunia, tapi juga semuanya. 

Menurutnya manusia akan tergantikan oleh mesin, atas nama kebebasan dan individualisme, mitos humanis akan dibuang bak kaset lama yang usang. (harari 2019: epilog). 

Kejadian di atas adalah fakta nyata tergantikannya manusia oleh mesin, bahkan sampai pada urusan keagamaan sekali pun.

Yang lebih parah adalah Mesin, komputer dan internet bukan hanya menggantikan otoritas ulama (ahli agama).

Melainkan seperti yang diungkapkan oleh Yanto Musthofa seorang wartawan Koran Tempo.

Dalam komentarnya di buku Harari, bahwa salah satu kemungkinan yang akan terjadi di depan adalah munculnya "agama" baru. 

Dari para "nabi" teknologi yang berambisi meruntuhkan pilar-pilar utama keimanan semua agama yang ada saat ini. (Harari, 2019:prolog).

Saya sebagai seorang santri cukup bergidik mendapati fakta sekaligus membaca analisis-analisis di atas. 

Bergidik karena ramalan-ramalan itu sudah sedemikian nyata di era sekarang ini. 

Era dimana sering disebut sebagai era revolusi Industri 4.0 yang telah mengubah segala aspek kehidupan manusia.

Semua sektor industry dan perdagangan mengalami perkembangan dari revolusi industry 1.0 sampai hingga saat ini revolusi industry 4.0, yang lebih dikenal dengan Industrial recolution 4.0. (Syntia Rahmi: Kompasiana)

Revolusi industry 4.0 ini tidak hanya mendisrupsi semua kegiatan manusia di  bidang teknologi saja tetapi merambat juga ke bidang lainnya seperti ekonomi, politik dan sosial. 

Menurut (Kagermann: et.al, 2013) revolusi industry 4.0 telah memperkenalkan teknologi produksi massal yang fleksibel. Mesin akan beroperasi secara independen (Sung, 2017). 

Industry 4.0 digunakan pada 3 faktor yang saling terkait yaitu digitalisasi DNA, interaksi ekonomi dengan teknik sederhana menuju jaringan ekonomi dengan teknik kompleks, digitalisasi produksi dan layanan model pasar baru (Zesulka et al, 3016). 

Dalam bahasanya Harari, yang demikian itu disebut sebagai era dataisme (Harari, 2019).  

Menurut Syntia Rahmi salah satu karakteristik dari revolusi industry 4.0 adalah kecerdasan buatan atau yang sering disebut Artificial Intelligence.

Salah satunya penggunaan komputerisasi dan robot yang bertujuan untuk menggantikan tenaga manusia menjadi murah, cepat, efektif, dan efisien. Dan hal itu berlaku dalam masalah agama.

Dibalik perubahan dan kemudahan adanya industry 4.0 yang dimanfaatkan ternyata menyimpan berbagai dampak negative diantaranya yaitu:

  1. Akan banyaknya pengangguran karena kinerja manusia sudah otomatis. 
  2. kerusakan alam diakibatkan ekspoitasi industry
  3. hoax yang bertebaran dimana-mana
  4. budaya instan menjadi gaya hidup baru yang eksentrik
  5. agama hanya dianggap sebagai pranata sosial yang usang, tegantikan oleh agama "baru" teknologi. 

Dalam keadaan era revolusi seperti dijelaskan di atas, tiba-tiba dunia dikagetkan oleh adanya bencana yang mendunia, yakni pandemi korona. 

Maka semakin lompatlah percepatan revolusi industri 4.0 ini! 

Saya melihat, pandemi corona telah berkontribusi besar terhadap percepatan laju perubahan sosial secara revolusioner. 

Setiap orang dengan situasi pandemi ini seolah dipaksa untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan logika "mesin" tadi. 

Karena kalau tidak demikian, maka akan menjadikan orang tersebut mati kutu, terlindas dua gerbong besar yang berat secara beban, yaitu gerbong revolusi industri 4.0 di satu sisi, dan gerbong pandemi corona di sisi lainnya. 

Coba bayangkan, saya, sebelum terjadinya pandemi ini, tidak pernah terpikirkan bahwa pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan sekarang ini semuanya berbasis daring. 

Perekonomian dan perdagangan terpaksa beralih memilih jalur online. 

Sampai pengajian-pengajian, pasaran-pasaran kitab kuning, khutbah-khutbah keagamaan semuanya memakai fasilitas online (daring). Sungguh luar biasa!

Sesuatu yang tidak disangka, bahwa akselerasi era revolusi industri 4.0 bisa secepat itu, ternyata dengan pandemi corona ini, kecepatan akselerasi itu menjadi nyata. 

Kembali kepada cerita di atas, tentang kejadian konsultasi masalah keagamaan kepada mesin atau robot di Jepang.

Juga cerita tentang adanya fenomena instan beragamanya masyarakat Indonesia belakangan ini.

Saya mempunyai pertanyaan menarik,  bagaimanakah fenomena beragama ke depan pasca pandemi ini?

Apakah akan seperti bayangannya Yanto Musthofa tadi, munculnya agama "baru" teknologi yang meruntuhkan pilar-pilar keimanan?

Ataukah akan muncul kelompok spiritual baru sebagai hasil dari pergulatannya kematangan beragama para ulama dengan teknologi. 

Karena sampai sekarang saya masih meyakini bahwa teori yang mengatakan bahwa semakin moderen orang maka semakin jauh dari agama menurut saya merupakan teori usang.

Teori yang sudah lama ditinggalkan dan sudah tergantikan dengan teori baru yang menyatakan, bahwa, justru semakin moderen manusia maka sebetulnya akan semakin spiritualis. 

Manusia yang demikian itulah, makhluk yang diistilahkan oleh Harari sebagai "Homodeus". Akan begitukah atau bagaimana? 

Dalam hal ini saya belum bisa menjawabnya, mudah mudahan dalam tulisan berikutnya saya bisa menemukan jawabannya. Wallahu A'lam...

Purwakarta, 8/5/2020
_____