Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Perusahaan Reasuransi 3: Kedudukan Perusahaan Reasuransi Terhadap Perusahaan Asuransi yang Dinyatakan Pailit

apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,apa itu reasuransi,
Apa itu reasuransi
Purwakarta Online - Ketentuan hukum penyelesaian hutang-piutang, khususnya dalam rangka melindunggi kepentingan kreditur (tertanggung), hukum positif Indonesia sebenarnya sudah memberikan jalan keluar dengan beberapa alternative pilihan yaitu berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Undang-Undang Kepailitan dan Ketentuan Undang- Undang Perasuransian (Usaha perasuransian).

Diantara ketiga alternative pilihan tersebut,ketentuan Undang-Undang Perasuransianlah yang lebih banyak memberikan kepasatian dan perlindungan hukum terhadap nasabah.

Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya dalam skripsi ini di sebut sebagai Usaha Perasuransian) menyebutkan bahwa kedudukan nasabah asuransi dalam perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit merupakan kreditur yang diutamakan.

Tetapi ketentuan dalam Usaha Perasuransian ini jelas tidak sejalan dengan apa yang dianut oleh Undang-undang Kepailitan.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa untuk tertanggung yang pembayaran premi asuransinya telah jatuh tempo dan berhak atas pembayaran klaim asuransi, maka tertanggung yang bersangkutan menempati kedudukan sebagai kreditur yang diutamakan (preferen).

Sedangkan bagi tertanggung yang belum berhak atas pembayaran klaim asuransi, baik karena polisnya belum jatuh tempo (asuransi jumlah) atau peristiwanya (evenemen) belum terjadi, maka kedudukannya adalah sebagai kreditur biasa (konkuren).

Secara logika pendapat tersebut di atas boleh saja di terima bila kesepakatan untuk menyelesaikan perkara kepailitan asuransi atau pemberesan harta pailit perusahaan asuransi mengacu pada ketentuan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian, sehingga otomatis tertanggung ditempatkan sebagai kreditur preferen.

Tetapi masalahnya akan lain bila kurator atau BHP memiliki pandangan sendiri dan bertolak belakang dengan apa yang di maksud di atas.

Yang paling mengkhawatirkan adalah bila kurator atau BHP secara mutlak berpedoman pada ketentuan pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, dimana sepanjang masih ada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis yang berada di luar tertanggung), maka kedudukan tertanggung sebagai kreditur istimewa atau privilege menjadi tidak berarti.

Karena menurut ketentuan pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, kedudukan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (gadai, hipotek,fidusia dan hak tanggungan) lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan (privilege).

Ini berarti bahwa kedudukan Tertanggung pemegang polis atau yang memiliki hak menikmati (beneficiary) atas polis adalah sebagai kreditur nomor dua.

Walaupun namanya tetap sebagai kreditur preferen yang di istimewakan (privilege), tetapi hak-haknya baru dibayarkan setelah hak-hak para kreditur preferen yang separatis diselesaikan lebih dahulu.

Sebenarnya ada penggalan kalimat terakhir dari pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata yang perlu dicermati lebih dalam sehingga keberadaan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian dalam penerapannya tidak menimbulkan dilema.

Penggalan kalimat terakhir pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata tersebut berbunyi “…….Kecuali dalam hal Undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya”.

Menunjuk ketentuan di atas jelaslah bahwa ketentuan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian yang menempatkan tertanggung pemegang polis asuransi sebagai kreditur yang diutamakan menjadi tegas.

Artinya keberadaan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian ini tidak perlu dipertentangkan lagi dengan Undang-undang Kepailitan atau pun dengan ketentuan KUHPerdata.

Hal ini sejalan dengan asas hukum yang berlaku yaitu asas lex specialis derogate lex generalis, di mana ketentuan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian sebagai ketentuan atau aturan hukum khusus harus dikedepankan pelaksanaannya dengan mengesampingkan ketentuan hukum umum yang tertuang dalam pasal 1133 dan 1134 KUHPerdata.

Demikian juga halnya dengan ketentuan Undang-Undang Kepailitan, harus dikesampingkan, karena Usaha Perasuransian sendiri secara khusus telah menggatur dan menempatkan kedudukan tertanggung secara tegas sebagai kreditur yang diutamakan atau di dahulukan pembayaran hak-haknya (preferen).

Namun perlu diingat bahwa kedudukan Tertanggung yang di maksud di atas tentu saja sebagai kreditur preferen yang istimewa (privilege),bukan sebagai kreditur preferen yang separatis.

Karena tertanggung memang bukan pemegang jaminan kebendaan seperti gadai,hipotik atau fidusia. Jadi ketentuan KUHPerdata dan Undang-Undang Kepailitan harus tunduk kepada ketentuan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian bila terjadi kepailitan suatu perusahaan asuransi.

Penyelesaian utang-piutang dalam perkara kepailitan asuransi akan menjadi dilema bila tidak secara hati-hati memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada khususnya ketentuan pasal 1134 ayat 2 KUHPerdata.

Hal ini muncul terutama mengenai penerapan Undang- undang Kepailitan dan Usaha Perasuransian secara bersamaan.Pada satu sisi, Undang-Undang Kepailitan tidak secara tegas mengatur hak-hak tertanggung.

Akan tetapi tetap menjunjung tinggi eksisitensi hak-hak kreditor preferen sebagaimana di muat dalam pasal 1133 dan 1134 KUHPerdata yang mana tertanggung tidak termasuk salah satu di dalamnya.

Sedangkan di sisi lain, Usaha Perasuransian mengatur secara tegas kedudukan tertanggung sebagai kreditur preferen sebagaimana di atur dalam pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian.

Penerapan asas hukum lex specialis derogate lex generalis di atas sudah tepat dilakukan mengingat kedua produk hukum tersebut berada pada tingkat kedudukkan yang sama yaitu Undang-Undang, dimana yang satu mengatur hal yang bersifat umum mengenai kepailitan pada umumnya dan yang lain mengatur hal yang bersifat khusus mengenai kepailitan asuransi.

Tentu saja semuanya tergantung pada pemahaman Kurator atau BHP, bila pemberes ini memahami prinsip-prinsip hukum sebagaimana terurai di atas maka atas pengetahuan itu akan melahirkan keputusan dan tindakan hukum yang tepat sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. 

Oleh karena kurator atau BHP pihak yang paling berwenang dalam mengurus dan membereskan harta milik debitur pasca putusan pailit Pengadilan Niaga.

Dalam kepailitan perusahaan asuransi, peraturan perundang-undangan tidak mengatur tentang adanya penangguhan pembayaran, baik di dalam undang-undang kepailitan maupun undang-undang usaha perasuransian.

Oleh karena itu tidak di benarkan apabila di dalam proses kepailitan perusahaan asuransi di dapatkan penangguhan pembayaran, jika suatu perusahaan asuransi pailit dan di tengah jalan ada polis asuransi yang telah jatuh tempo, ataupun ada klaim karena terjadi evenemen terhadap polis tertanggung.

Maka pihak tertanggung tetap bisa mendapatkan klaim dari pihak asuransi, karena jika perusahaan asuransi pailit, sesuai dengan kebijakan dari pihak asuransi untuk melindungi nasabahnya, kebijakan tersebut di keluarkan dalam bentuk adanya suatu daftar tunggu pembayaran yang di buat oleh perusahaan asuransi.

Sehingga apabila terjadi pailit maka tertanggung akan mendapatkan pembayaran sesuai dengan nomer urut pembayaran atas klaim yang tercantum di dalam daftar tunggu pembayaran yang di buat oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kebijakannya.

Oleh karena itu sekali lagi di tekankan tidak di kenal penangguhan pembayaran di dalam proses kepailitan dari perusahaan asuransi karena tidak ada peraturan hukum yang mengatur hal demikian.



Sumber
Sejahterawan Budianto, Muhammad Khoidin, Iswi Hariyani. 2013. Kedudukan Perusahaan Reasuransi Sebagai Kreditur Preferen Terhadap Perusahaan Asuransi Yang Di Nyatakan Pailit. Perdata Ekonomi, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ). https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/58958, diakses pada tanggal 10 Pebruari 2022.