Serangga, Solusi Pangan Masa Depan (Bagian 12)
Serangga, Solusi Pangan Masa Depan |
Purwakarta Online - Sebagian besar serangga yang dapat dimakan dipanen dari habitatnya di alam. Serangga seperti ulat sutera dan lebah madu sudah diternakan secara luas karena produk-produk turunan yang bisa dihasilkan, walaupun selain itu kedua hewan tersebut juga bisa dimakan.
Budidaya Serangga
Dalam pembudidayaan serangga untuk konsumsi di beberapa negara sebagai contoh larva kumbang kelapa tidak membutuhkan biaya besar ataupun peralatan yang canggih untuk dikembangkan, sehingga membuatnya menjadi sesuatu yang sesuai untuk dikembangkan menjadi suatu industri rumah tangga dan menjadi solusi untuk menambah penghasilan masyarakat.Sebuah perusahaan industri makanan bermarkas di Texas, Amerika Serikat, Aspire Food Group berencana membangun suatu fasilitas industri pengolahan jangkrik yang memanfaatkan mesin/robot untuk mengawasi asupan makanan organik dan air yang telah disaring untuk serangga, sampai serangga-serangga tersebut digoreng kering untuk menjadi snack atau dibuat menjadi tepung.
Perusahaan tersebut juga melatih ratusan petani Ghana untuk memelihara larva kumbang kelapa sebagai salah satu cara untuk memperoleh penghasilan tetap dan berkelanjutan.
Dua dekade belakangan ini, para petani miskin di bagian Timur Thailand telah mulai membudidayakan jangkrik di kandang beton di rumah mereka. Seiring dengan permintaan akan jangkrik yang semakin tinggi, tentunya akan berdampak juga terhadap keuntungan yang mereka peroleh.
Satu petani diketahui menjual 10 kg sampai 2 ton perhari. Sekarang sekitar 20.000 ladang beton tersebut telah berdiri, dan secara keseluruhan menghasilkan 3 juta dolar per tahun (Mishan, 2018).
Pada awalnya ulat mopane dipanen hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi. Namun lama- kelamaan ulat mopane ini telah menjadi komersial. Panen dan penjualan ulat mopane adalah industri sampingan jutaan masyarakat di selatan Afrika.
Produsen utamanya adalah Botswana, Namibia, Afrika Selatan dan Zimbabwe. Biasanya, ulat ini tidak dibudidayakan, dan dipungut secara alami.
Pada tahun 1990-an, ratusan ton ulat mopane diekspor dari Botswana dan Afrika Selatan setiap tahun. Diperkirakan bahwa untuk perdagangan lokal di Afsel mencapai 1,6 juta kilogram per-tahun, dan Botswana yang terlibat dalam industri ini menjaring kira-kira $ 8 juta per-tahun.
Beternak ulat mopane dianggap memberikan hasil panen yang menguntungkan, hanya 3 kilogram pakan daun mopane umumnya akan menghasilkan 1 kilo ulat mopane, jauh berbeda dengan ternak pertanian lain yang memerlukan 10 kilogram pakan untuk menghasilkan 1 kilo dagingnya.
Sejak tahun 1950, metode pertanian komersial ulat mopane telah diterapkan, terutama di Afrika Selatan. Kolektor dapat mengatur tim yang terdiri dari ratusan tangan orang untuk memungut ulat mopane dari pohon, yang kemudian ditimbang dan dikirim untuk diproses.
Pemilik tanah di mana ulat mopane ditemukan mungkin akan menuai sejumlah besar keuntungan dari sisi pendapatannya. Sedangkan di Gunung Kidul, Indonesia, masyarakat membudidayakan belalang kayu jati dengan cara menanam pohon jati dan pohon akasia sebagai tanaman pelindung sebelum menggarap lahan pertanian di bawahnya.
Pada pucuk-pucuk pohon itulah belalang kayu hinggap dan mencari makan. Belalang goreng ini menjadi salah satu sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar, karena satu toples belalang goreng dijual seharga Rp. 30.000 per toples dan Rp. 20.000 pada musim penghujan. (*)
Sumber:
Pratiwi Girsang. 2018. Serangga, Solusi Pangan Masa Depan. Jurnal Pembangunan Perkotaan. Volume 6, Nomor 2. http://ejpp.balitbang.pemkomedan.go.id/index.php/JPP/article/view/35, diakses pada tanggal 17 Januari 2022.
* Dilakukan pengeditan ringan
Pratiwi Girsang. 2018. Serangga, Solusi Pangan Masa Depan. Jurnal Pembangunan Perkotaan. Volume 6, Nomor 2. http://ejpp.balitbang.pemkomedan.go.id/index.php/JPP/article/view/35, diakses pada tanggal 17 Januari 2022.
* Dilakukan pengeditan ringan