Digitalisasi Foto Jurnalistik Analog Harian Kompas (Bagian 1)
Foto: Victoria Armada |
Ringkas karena fotografi merangkum peristiwa dalam lembaran gambar, mudah didistribusikan, serta hanya memerlukan kamera yang sederhana. Foto jurnalistik penting tak hanya sebagai kelengkapan berita, namun juga memberi kedalaman dan membantu pembaca memahami visual peristiwa.
Surat kabar Prancis Libération pernah membuat kejutan dengan menampilkan halaman muka berupa kotak kosong tanpa foto pada 4 November 2013 untuk menunjukkan berita tidak menarik tanpa kehadiran foto (Wijaya, 2014).
Fotografi menjadi bagian jurnalistik setelah surat kabar Amerika The Daily Graphic pada 1880 menerbitkan foto pertama berjudul “A Scene in Shantytown, New York”.
Saat itu foto dibuat menggunakan kamera format besar dengan perekam gambar berupa plat negatif kaca yang dilapisi emulsi kimia (Good & Lowe, 2017, p.18).
Meski temuan fotografi diumumkan Louis J. M. Daguerre pada pertemuan French Academy of Science di Paris pada 1839, perlu 41 tahun bagi karya foto untuk dapat tayang di surat kabar.
Sejarah foto jurnalistik Indonesia diwakili kantor berita Domei, surat kabar Asia Raya, dan agensi foto Indonesia Press Photo Service (IPPHOS).
Agensi foto IPPHOS didirikan oleh Alexius Mendur, Frans Mendur, Justus dan Frans "Nyong" Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda pada 2 Oktober 1946 di Jakarta (Soerjoatmodjo, 2013), untuk melayani kebutuhan foto redaksi media di dalam dan luar negeri.
IPPHOS banyak merekam pergolakan politik sebelum lahirnya Republik Indonesia hingga masa revolusi. Salah satu foto yang sangat berharga adalah proklamasi pada 17 Agustus 1945.
IPPHOS di masa itu sangat produktif, tercatat dalam waktu tiga bulan setelah proklamasi Mendur bersaudara membuat tak kurang 2.500 foto. Dalam SK usahanya, IPPHOS tidak menggunakan istilah foto jurnalistik, melainkan ‘press fotografi’
Foto jurnalistik dalam media dipercaya oleh pembaca sebagai realitas. Roland Barthes di beberapa tulisannya menyebut peran dan kemampuan ini sebagai mitos. Yaitu ketika media dianggap menghasilkan kebenaran maka apa yang diproduksi media dianggap sebagai realitas (Barthes, 2012).
Karena peran tersebut dalam media, foto jurnalistik penting untuk diteliti. Kajian foto jurnalistik banyak membahas tentang kerja jurnalis foto, medium, peran foto jurnalistik, distribusi lewat media baru, serta aspek filsafat yang melingkupinya.
Jarang yang membahas secara spesifik tentang pengarsipan. Penelitian digitalisasi sebelumnya dilakukan oleh Sintha Ratnawati sebatas pada penjelasan tahapan proses.
Mengarsipkan adalah mengumpulkan bersama tanda-tanda dan memindahkannya dari sebuah dunia privat ke publik dengan tujuan bertahan pada sumber materi dari memori (Derrida 1995); ini memungkinkan memori menjadi gudang dari kesan-kesan di masa lalu kita (Bassnett, 2009, p.242).
Ketiadaan pengarsipan film negatif dapat mengakibatkan kerugian besar seperti yang dialami oleh Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta yang kehilangan foto-foto penting peristiwa politik 1965 milik fotografer Moelyono.
Hingga kini keluarga tidak berhasil menemukan beberapa film negatif kejadian penting anggota Partai Komunis Indonesia. Penelitian ini membahas digitalisasi arsip foto jurnalistik analog.
Surat kabar memiliki arsip analog berupa cetak (photo print) dan film. Cetakan foto adalah foto dari langganan kantor berita (wire service) seperti Associated Press, sedangkan film adalah hasil dari jurnalis foto maupun jurnalis tulis.
Hampir keseluruhan arsip film analog Kompas adalah negatif, baik berwarna yang diberi kode FC dan hitam- putih berkode BW. Penelitian ini akan fokus pada film negatif. Istilah negatif dicetuskan oleh Herschel seperti halnya kredit pada istilah fotografi (Edwards, 2006, p.78).
Negatif adalah film di mana area gelap adalah kebalikan dari gambar sesungguhnya, yaitu area terang. Sedangkan film positif atau slide adalah film di mana area gelap pada film seperti halnya area gelap pada kenyataan aslinya.
Slide sangat jarang digunakan oleh jurnalis foto karena biaya yang mahal baik dari harga rol film maupun prosesnya. Kualitas film negatif lebih rendah dibanding slide.
Pemilihan surat kabar sebagai lokus penelitian karena surat kabar memproduksi foto jurnalistik lebih banyak dibanding media lain. Surat kabar juga mudah diperoleh oleh siapa saja karena mudah dijangkau dan dibeli.
Surat kabar menempati tempat krusial dalam ‘ruang publik’, seperti dicetuskan Habermas (1984: 49) sebagai ‘sebuah dunia dalam kehidupan sosial kita yang mana segala sesuatu yang mengarah pada opini publik bisa dibentuk.
Aksesnya dijamin bagi seluruh warga.” (Cole&Harcup, 2010, p.5) Kemudian pertimbangan Harian Kompas juga didasari fakta bahwa surat kabar ini memiliki jangkauan paling luas dan oplah terbesar di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan studi literatur. Wawancara dilakukan kepada Kepala Pusat Data Dan Informasi Litbang Kompas, Ignatius Kristanto, koordinator digitalisasi Dwi Rustiono, Pimpinan Proyek yang juga Kepala Desk Foto Kompas Johnny TG, Kepala Desk Foto Kompas di era transisi digital Arbain Rambey.
Pengarsipan film negatif perlu segera dilakukan karena penurunan kualitas gambar seiring waktu. Kerusakan film yang umum terjadi adalah penurunan warna; degradasi fisik oleh keasaman cairan kimia yang digunakan—meski lapisan polyester bisa bertahan lebih dari seratus tahun; hingga yang diakibatkan oleh mikroorganisme dan serangga karena lapisan gelatin di dalamnya.
Kerusakan warna bisa berupa penurunan saturasi, perubahan warna (dye fading) yang diakibatkan keseimbangan komponen warna yellow-magenta-cyan yang berubah (biasanya foto menjadi kekuningan atau pucat kebiruan), serta noda di bagian terang (highlight staining), (McIntosh, 2011).
Pengarsipan film negatif memiliki tantangan lebih besar dibanding pengarsipan data di era kamera digital, karena pada analog materi fisik harus melalui pemindaian terlebih dahulu. Harian Kompas melalui Pusat Informasi Kompas (PIK) telah memiliki tata laksana digitalisasi arsip foto dalam unit usaha di bawah Kompas Gramedia (KG).
Menurut Kennedy (1996), upaya penyelamatan arsip fotografi telah diselenggarakan dan menjadi pendidikan formal di Universitas Delaware, Amerika, sejak 1976 (Norris & Gutierrez, 2010, p.86).
Hingga Februari 2020 tim digitalisasi Kompas telah mengarsipkan 93.952 amplop film (berisi sekitar 2 juta foto). Jumlah foto terbanyak dari arsip film tersebut adalah karya fotografer Kartono Ryadi.
Dari jumlah itu menjadi 340.962 foto yang sudah terunggah ke dalam arsip digital, dan menyisakan 55.541 foto yang tidak bisa dimanfaatkan karena tidak adanya caption atau takarir.
Caption sebagai keterangan foto adalah bagian tak terpisahkan pada foto jurnalistik. Caption juga menjadi elemen penting dalam metadata, yang berguna untuk pencarian file foto.
Metadata deskriptif memberikan “bibliografi” dasar informasi tentang satu objek digital. Secara umum elemen- elemennya adalah judul, notasi atau diskripsi, kreator, dan seterusnya.
Elemen-elemen ini membentuk basis yang dipakai pengguna melacak objek yang relevan (McIntosh, 2011, p.127) Sebagian hasil digitalisasi film analog Harian Kompas sempat menjadi materi pameran foto “Unpublished” 6-12 Februari 2017 di Bentara Budaya, Jakarta.
Meski proyek digitalisasi adalah film negatif kurun 1965-2005, masih ditemukan film bertuliskan tahun 2006-2017, namun hanya sekitar 20 amplop.
Saat ini PIK masih melakukan digitalisasi pada arsip film negatif Tabloid Bola. Bagi redaksi, arsip digital foto masa lalu berguna untuk melengkapi latar belakang pada sajian berita, atau sajian kronologi peristiwa.
Setelah foto-foto hasil digitalisasi tersebut diunggah di Image Archive milik PIK, publik dapat mengakses dokumen foto bersejarah milik Kompas. Publik juga bisa menyewa untuk penggunaan kembali seperti buku, poster, konten digital, dan seterusnya. (*)
Taufan Wijaya, Aditya Heru Wardhana. 2021. DIGITALISASI FOTO JURNALISTIK ANALOG HARIAN KOMPAS. Universitas Multimedia Nusantara. JURNAL DEKAVE VOL.1, NO.1. https://journal.isi.ac.id/index.php/dkv/article/view/5712/2248, diakses pada tanggal 17 Januari 2022.