Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Si Kijing (9): Tragedi 10 Oktober, kematian massal


:::cerita bersambung

Abah Dumadi berdiam sendiri, tatapannya kosong, lamunannya liar tak bertepi. Masalah orang asing di desanya tidak bisa ia selesaikan.

Bukan apa-apa, 'orang gila' dari antar berantah ini membuatnya menyadari, bahwa pengalaman dan ilmunya tidak lagi bermanfaat. Mungkin ini waktu baginya untuk mati, begitu obrolan Abah Dumadi dengan dirinya sendiri dalam hati.

Urusan ghaib adalah urusan yang menjadi subjeknya. Bukan urusan orang lain. Ia malu, saat ini ia benar-benar merasa malu.

Waktu kian berlalu, hingga entah kapan. Jika orang asing (Si Kijing) korban keganasan Belantara Sukma itu tidak juga sembuh, maka ia tidak akan lagi memiliki penghormatan yang selama ini ia dapat dari warga Desa Wanapoyi.

Selama ini, yang ia peroleh dari warga desa bukanlah fasilitas materi. Tapi sebuah penghormatan, sebagai tokoh tunggal, sebagai pawang 'ghaib'. Itu semua sudah cukup baginya.

Tapi jika 'penghormatan' itu harus hilang, untuk apa selama ini ia berusaha menjadi 'orang bijaksana'?

Selama ini, ia tidak bekerja, ia menempati 'rumah' kecil beranyam bambu hasil gotong royong warga desa. Di pojok tanah milik desa.

Sebagai konsekuensinya ia merasa wajib untuk 'mengawal' kehidupan seluruh warga desa, termasuk dari gangguan supranatural dari belantara di sisi desa. Dengan begitu ia merasa dirinya bermanfaat bagi desanya tercinta.

Belakangan, seiring majunya perkembangan, tahun demi tahun menjadi teramat sulit baginya. Dalam pandangan Abah Dumadi, kini kehidupan sudah tidak lagi mendukung 'kehidupan'.

Beberapa ritual masyarakat desa, yang belasan tahun senantiasa ia pimpin, satu per satu tidak lagi dijalankan. Alasannya, tidak ada biaya.

Masyarakat desa kehilangan rasa terimakasih terhadap kehidupan. Materi yang diperolehnya tidak lagi dianggap pemberian bumi dan alam ini.

Kikis, sedikit demi sedikit penghormatan semakin pudar. Semakin tidak penting, singgasana Abah Dumadi sepertinya telah roboh di hati masyarakat.

Bahkan, tak jarang. Dalam musyawarah desa, Abah Dumadi tidak lagi dilibatkan. Masyarakat sudah tidak butuh penerawangannya.

Masyarakat desa sudah tidak peduli lagi akan ada bencana apa di tahun depan. Apa yang harus dilakukan saat ini untuk mencegahnya.

Orang yang memasuki hutan Sukma, tidak lagi merasa harus menemuinya terlebih dahulu. Sudah tidak ada lagi, sudah hilang rasa segan terhadap hutan.

Kalah segan dibandingkan terhadap penagih hutang yang berseliweran di pelosok jalan lingkungan di setiap desa.

Lalu sekarang, saat ada bencana, saat ada orang tersesat dalam lebatnya Belantara Sukma. Orang-orang baru menatapnya, meratap meminta kesembuhan dan jalan keluar. Itu pun tanpa mau menyediakan dan menjalankan persyaratan-persyaratan ritualnya.

Hidup sudah semakin sulit bagi Abah Dumadi, manusia semakin hilang, jati dirinya. Sikap dan sifatnya, bahkan tak dikenali olehnya, pun oleh orang itu sendiri.

Orang tua? Merekapun tak lagi mengenal anak-anaknya sendiri. Manusia semakin asing terhadap diri dan budayanya.

Saat seorang anak tak lagi mengenal siapa bapaknya, lupa siapa ibunya, ia tak akan lagi tahu asal-usulnya.

Bisa ditebak, lantas mereka tak lagi peduli dan tidak lagi tahu kemana ia akan pergi.

Mereka sudah tidak membicarakan lagi, tahapan alam yang dilalui manusia. Lupa daratan, sekarang kita di alam dunia, kemarin kita di alam rahim, besok di alam kubur. Siapa lagi yang peduli?

Mungkin saatnya pamit dari semesta bagi dirinya, begitu kesimpulan Abah Dumadi. Tidak ada lagi sejengkal tanah pun bagi eksistensinya.

***

Tanggal 10 Oktober, menjadi duka para warga desa. Abah Dumadi ditemukan gantung diri di gubuknya sendiri.

Dikenal sebagai penyabar, tidak 'kapidunya', senantiasa bijaksana saat dimintai nasihat, kini tidak lagi bersama mereka, warga desa.

Warga desa yang berusia renta, bahu-membahu sekuat tenaga membuat lubang kubur bagi Abah Dumadi. Mereka seakan tidak sabar untuk segera menyelesaikan penguburan.

Adiwira, Sang Kades Wanapoyi tergopoh-gopoh terlambat datang ke pemakaman, ia akan segera shalat ghaib, karena terlambat menyolatkan di mushola bersama beberapa warga desa.

Anak-anak muda berpapasan di jalan, saling bertanya mengenai orang yang meninggal. Lalu kembali larut dalam ayunan langkahnya, larut kembali dalam ayunan cangkulnya.

Si Kijing berusaha bersimpati, tapi tak ada kawan. Semuanya tampak biasa saja, lagipula, sebagai orang asing pendatang di Desa Wanapoyi, ia merasa tak perlu berpura-pura turut bersedih.

Para pemuda, kemudian bergotong royong memperbaiki 'rumah' Alamarhum Abah Dumadi dengan penuh suka cita dan penuh pengharapan.

Para pemuda desa tersebut telah bersepakat dengan pemerintah Desa untuk mengelola tanah desa, akan dijadikan lahan pertanian sebagai pemberdayaan pemuda desa.

Dan bekas rumah Abah Dumadi akan jadi saung sementara untuk memasak liwet bagi para pekerja kebun yang tengah sibuk membersihkan lahan untuk persiapan.

Perbaikan rumah bekas Abah Dumadi hanya beberapa bagian kecil saja. Sebelum dibuatkan Saung megah untuk pertemuan bulanan para pemuda, rencananya akan dianggarkan dari Dana Desa.

Karena Abah Dumadi tidak punya keluarga saat meninggal, para ibu-ibu tidak merasa harus melayat seraya membawa baskom. Lagipula, konsentrasi mereka sudah ditawan oleh alur cerita dalam sinetron.

Sedih dan bahagia, bukan lagi berdasarkan apa yang terjadi dalam kehidupannya, kehidupan keluarganya atau kehidupan tetangganya. Tapi bergantung pada kisah yang sedang dialami oleh tokoh cerita dalam episode yang sedang ditayangkan.

Segenap warga desa mengira kematian bunuh diri Abah Dumadi adalah siklus biasa dalam untaian takdir hidup manusia. Mereka luput, dari penglihatan pada tragedi besar yang sebenarnya sedang menimpa mereka.

Mereka sama sekali mengira, hanya 1 jasad Abah Dumadi yang meninggal. Mereka lupa diri, hingga lupa, bahwa merekalah yang sebenarnya mati.

:::Bersambung....