Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Perkembangan teknologi Jepang pasca Perang Dunia kedua (Bagian 6)

kunci-kemajuan-bangsa-negara-jepang-pasca-perang-dunia

Teknologi pada masa perang berkontribusi pada penciptaan kemandirian, kreativitas, dan ketekunan bangsa Jepang dalam mengembangkan teknologi pascaperang. 

Tessa Morris-Suzuki (Moore, 2013) berargumen bahwa “visi teknologi, sebagai dasar dari The Greater East Asia-Co Prosperity Sphere, ditransformasikan menjadi basis dari New Japan (Japan Baru).

Techno-fascism terkait erat dengan techno imperialism, terutama dalam bentuk proyek pembangunan yang bertujuan mengintegrasikan perekonomian Jepang pada masa perang dan menggerakkan orang-orang di wilayah kolonial. 

Dua komponen tersebut, techno-fascism dan techno-imperialism, kemudian diadaptasi untuk mencapai kemakmuran bangsa Jepang pasca perang dan menjalankan kekuasaan di luar negeri melalui bantuan pembangunan.

Teknologi digunakan sebagai alat untuk menjalankan kebijakan luar negeri dan melaksanakan restrukturisasi ekonomi pascaperang. 

Konsep teknologi komprehensif yang dikembangkan pada masa perang diintegrasikan dalam kebijakan “comprehensive national development”, yakni pembangunan nasional yang komprehensif, ditetapkan pada 1950 sebagai salah satu strategi untuk restrukturisasi ekonomi pascaperang dan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi.

Kelompok birokrat dan insinyur yang bekerja di wilayah kolonial kembali ke Jepang untuk melaksanakan proyek pembangunan infrastruktur di Jepang dan negara-negara lain melalui program development assistance (bantuan pembangunan). 

Pembangunan dam di Jepang tetap berlanjut pasca-Perang Dunia sehingga Jepang memiliki lebih dari 3.000 dam dan merupakan salah satu negara yang memiliki dam terbanyak di dunia (Aldrich, 2008).

Kelompok insinyur, birokrat, dan perusahaan yang terlibat dalam pembangunan masa perang tetap berperan penting dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan luar negeri melalui program bantuan pembangunan. 

Sebagai contohnya adalah Kuboto Yutaka, Presiden Yalu Hidropower, setelah kembali dari Korea memulai membentuk Nippon Koei, sebuah konsultan pembangunan.

Kubota meyakinkan pemerintah Jepang bahwa bantuan pembangunan memberikan keuntungan bagi Jepang, seperti kontrak kerja dan peluang ekspor ke perusahaan Jepang. 

Kepemimpinan Jepang dalam melaksanakan pembangunan di kawasan Asia akan mendorong terciptanya “co-prosperity” dan “co-existence” atau kemakmuran bersama dan hidup berdampingan negara-negara di Asia.

Kuboto berhasil memegang proyek pembangunan di Sungai Asahan. Selain itu, keberhasilan Kuboto didukung oleh upayanya dalam melakukan pendekatan dengan pemimpin-pemimpin negara. 

Pada akhir 1960, Kuboto meyakinkan Presiden Soeharto akan pentingnya pembangunan dam di Sungai Asahan.

Dari proyek tersebut, perusahaan Jepang mendapatkan keuntungan sebesar US$ 2 miliar (Moore, 2013). 

Dari hal tersebut, tercermin bahwa imajinasi teknologi pada masa perang masih berlanjut dalam bentuk bantuan pembangunan di negara-negara berkembang.

Secara umum, buku ini telah memberikan gambaran imajinasi teknologi pada masa perang dan bagaimana imajinasi tersebut diwujudkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur. 

Namun, ada beberapa hal penting yang tidak dibahas secara detail dalam buku ini.

Sebagai contoh, tidak dibahasnya secara detail peranan kelompok militer dalam penetapan kebijakan teknologi pada masa perang, mobilisasi dan pemanfaatan sumber daya di wilayah kolonial Jepang. 

Pada masa perang, militer, terutama yang masuk birokrasi (birokrat militer), mempunyai peran penting dalam merencanakan kebijakan sains dan teknologi serta implementasinya di wilayah jajahan.

Selain itu, buku Constructing East Asia tidak dapat menjelaskan keterkaitan nyata antara peranan ilmuwan Aikawa dan birokrat Mori dalam pembangunan infrastruktur. 

Peran kedua tokoh tersebut hanya terlihat dalam diskursus intelektual pada masa perang, tetapi tidak terlihat peranannya dalam pembangunan infrastruktur di wilayah Asia Timur.

Hal ini menyulitkan pembaca dalam memahami peran nyata kedua tokoh dalam pembangunan wilayah Asia Timur. 

Meskipun ada beberapa kelemahan dalam buku ini, tulisan Moore menjembatani adanya gap pembahasan sejarah teknologi dengan sejarah intelektual secara terpisah.

Buku Constructing of East Asia secara lengkap menjelaskan bagaimana pemikiran tentang teknologi diimplementasikan dalam pembangunan berbagai macam infrastruktur. 

Selain itu, buku ini memberikan inspirasi kepada pembaca untuk melihat modernitas kolonial melalui artefak tertentu yang dapat menggambarkan keterkaitan antara kekuasaan, teknologi, dan ide. (*)

* Tinjauan Buku yang berjudul IMAJINASI TEKNOLOGI DAN FASISME JEPANG TAHUN 1931–1945 Aaron Stephen Moore. Constructing East Asia: Technology, Ideology, and Empire in Japan’s Wartime Era 1931–1945. Stanford University Press, 2013), oleh Upik Sarjiati dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2016
* Foto: Pexels