Kisah Kapten Israel, penggoda wanita yang dibunuh Agen Rahasia Mossad
PurwakartaOnline.com - Pada awal bulan Desember 1954 sebuah pesawat kargo melintas di atas Laut Mediterania Timur.
Saat pilot yakin tidak ada kapal yang berlayar di perairan itu, salah satu pintu pesawat terbuka dan sebuah benda berukuran besar dibuang ke laut. Sebuah mayat.
Dalam buku Mossad, the Greatest Missions of the Israeli Secret Service, Michael Bar-Zohar dan Nissim Mishal menulis satu jam kemudian pesawat itu mendarat di Israel.
Operasi yang disamarkan sebagai Operation Engineer, itu menjadi operasi rahasia selama lima puluh tahun.
Pada 1949 tiga orang kakak beradik dari keluarga Yahudi tiba di Haifa. Kakak yang tertua, Alexander Israel baru saja lulus dari sekolah teknik di Sofia.
Ia mendaftar ke Angkatan Bersenjata Israel, mendapat pangkat kapten dan ditempatkan di Angkatan Laut.
Kapten Israel seorang laki-laki muda tampan dan memesona. Ia dihormati atasannya dan ditempatkan di sebuah pusat penelitian pengembangan senjata baru dan perangkat perang elektronik yang sangat rahasia.
Di tempat yang dijaga sangat ketat itu, ia memiliki akses ke materi-materi yang paling sensitif. Pada 1953 ia mengganti namanya menjadi Hebrew Avner dan menikahi Matilda Arditi, perempuan muda cantik keturunan Turki.
Pasangan muda ia menetap di Haifa, dekat dengan pangkalan militer Angkatan Laut Israel. Zohar dan Mishal menulis Matilda sangat mencintai suaminya yang karismatik tapi tidak mengetahui sisi gelapnya.
Ia tidak tahu suaminya memiliki catatan polisi yang panjang dan beragam. Kapten Israel berulang kali dituduh menyewakan satu apartemen ke lebih dari satu penyewa, menyamar sebagai karyawan perusahaan kulkas untuk mengambil uang muka kulkas yang tak pernah diantarkan dan berbagai tuduhan lainnya.
Satu kasus sampai dibawa ke pengadilan dan pengadilan memintanya hadir pada 8 November 1954. Matilda, yang sedang mengandung tidak mengetahui tentang penipuan-penipuan tersebut maupun perselingkuhan suaminya dengan perempuan muda yang bekerja di kantor konsulat Italia di Haifa.
Perempuan itu bersedia mengencani Avner dengan satu syarat, ia harus masuk Katolik. Bagi Avner muda hal itu bukan hal yang sulit. Ia pernah pindah agama sebelumnya. Di Bulgaria ia dipaksa menikahi perempuan Kristen yang ia rayu.
Keluarga perempuan itu marah, menodongkan senjata, memaksa Avner pindah agama lalu menikahi perempuan tersebut.
Ia pun pindah agama tapi tepat sebelum pernikahan digelar ia kabur ke Sofia, calon istrinya itu bunuh diri dan di Sofia ia kembali menganut Yahudi.
Kali ini ia melakukannya lagi. Ia pergi ke Yerusalem bersama selingkuhannya, dibaptis di gereja Terra Santa dan mengubah namanya jadi Ivor.
Dengan dokumen yang diberikan Gereja, kapten muda yang mempesona itu menggunakan Alexander Ivor di paspornya dan catatan pernikahan Kementerian Dalam Negeri.
Kapten Alexander Israel atau Ivor dan kekasih Italianya itu menetapkan 7 November 1954 sebagai tanggal pernikahan mereka.
Sementara Israel yang kini menjadi Ivor harus menghadiri pengadilan di Haifa pada 8 November. Zohar dan Mishal menulis jelas saat itu Alexander Ivor tidak berniat untuk menghormati dua komitmen tersebut.
Pada akhir bulan Oktober, Kapten Israel izin cuti selama dua pekan. Ia tidak memiliki visa, tapi Alexander Ivor punya.
Ia memiliki satu set dokumen lengkap, sebagian asli dan sisanya palsu. Ia membeli tiket pesawat ke Roma dan pada 4 November ia pergi.
Kekasih atau tunangannya Italia tidak tahu Ivor pergi dan perempuan itu mulai gelisah. Ia pun melapor ke kepolisian Haifa. Dengan bantuan mereka ia bertemu dengan Matilda Israel yang saat itu sedang hamil tujuh bulan.
Sempat menghilang hingga ditemukan Mossad
Avner Israel sempat menghilang di Roma tapi ia ditemukan agen Mossad. Lembaga intelijen itu memiliki sumber diplomatik Arab yang bagus di Italia.
Pada 17 November muncul sambungan kawat ke markas besar Mossad di Tel Aviv.
Kawat itu menyebutkan perwira Israel, Alexander Ivor atau Ivon atau Ivy ada di Italia mencoba menjual informasi militer ke atase militer Mesir di Roma.
Kepala badan keamanan Israel, Shin Bet atau Shabak yang baru saat itu Amos Manor ikut dalam tim yang mencari tahu siapa orang itu. Beberapa hari kemudian muncul sambungan kawat lainnya.
"Kedutaan Besar Mesir memesan tiket ke Kairo untuk akhir bulan November, di agensi TWA, tampaknya dua penumpang adalah atase militer Mesir dan perwira senior Israel," kata kawat tersebut.
Suara bel di markas besar Mossad berdering kencang. Bagi kepala Mossad saat itu Isser Harel ada perbedaan besar antara mendapatkan pengarahan dari atase asing di negara ketiga dan mendapat pengarahan di ibu kota negara musuh.
Harel yakin di Kairo, Kapten Israel akan diinterogasi oleh pakar dan semakin banyak informasi rahasia yang bocor. Karena itu ia harus menghentikan Kapten Israel datang ke ibu kota Mesir itu dengan segala cara.
Harel harus membentuk tim operasionalnya di Roma dan saat itu Mossad tidak memiliki departemen operasional sehingga mereka menggunakan unit Shabak.
Komandan tim itu seorang legenda bernama Rafi Eitan. Agen gemuk, lincah, dan periang tapi juga gigih, kreatif dan kejam.
Ia terlibat banyak misi bahkan sebelum Israel berdiri, ia terlibat dengan organisasi rahasia Aliya Beth yang menyelundupkan orang Yahudi Eropa ke Palestina walaupun sudah ada larangan dari pemerintah Inggris.
Eitan membawa pengungsi Yahudi dengan perahu bobrok melewati kapal-kapal perang Inggris. Misi yang membuatnya menjadi legenda di Israel adalah ia meledakan fasilitas radar Inggris di Haifa.
Di Roma ia ditemani agen Raphael Medan and Emmanuel (Emma) Talmor. Agen yang lain bergabung kemudian.
Mereka berencana menyergap Kapten Israel di Bandara Fiumicino, Roma. Mereka mendapatkan satu perintah. Jangan biarkan Kapten Israel masuk pesawat.
"Dia tidak boleh masuk ke pesawat, buat perkelahian palsu, kalahkan dia, dan lukai bila perlu, dan bila semua langkah itu gagal, tembak dan bunuh dia!" kata perintah tersebut.
Ini perintah pertama yang Mossad berikan kepada agennya untuk membunuh orang Yahudi. Tapi penyergapan di bandara tidak terjadi. Informasi mengenai perjalanan ke Mesir tampaknya salah.
Kapten Israel menetap beberapa hari di Roma, lalu ketika ia meninggalkan kota ia berkeliling Eropa. Eitan dan timnya pun terpaksa mengikuti.
Ia datang ke Zurich, Jenewa, Genoa, Paris dan Wina. Tiba-tiba Kapten Israel menghilang. Tim Eitan pun mencarinya kemana-mana tapi gagal.
Di Wina ada organisasi rahasia yang bernama Nativ, kelompok yang bertugas membawa orang Yahudi di Eropa Timur dan Blok Timur ke Israel.
Orang-orang Nativ menjaga hubungan baik dengan Mossad. Pada suatu hari di bulan Desember ada istri anggota Nativ yang orang Bulgaria mengejutkannya.
"Kamu tidak akan percaya ini, tadi pagi saya berjalan dan tiba-tiba bertabrakan dengan teman lama saya dari Sofia, saya sudah tidak pernah melihatnya selama bertahun-tahun, kami satu sekolah, satu kelas! Benar-benar kebetulan, kan?" kata istri orang Nativ tersebut.
"Yang benar? Siapa namanya?" tanya si suami.
"Alexander Israel, Kami ada janjian makan siang besok," jawab istrinya.
Orang Nativ tersebut tahu Eitan sedang mencari orang yang sesuai dengan deskripsi istrinya dan segera memberitahu agen Mossad tersebut.
Keesokan harinya dua agen Mossad makan siang di restoran yang sama, duduk tidak jauh dari Alexander Israel dan teman lamanya.
Beberapa hari kemudian 'Alexander Ivor' naik pesawat Austrian Airlines menuju Paris. Ia duduk di samping perempuan muda cantik. Kapten Israel pun tidak bisa lepas dari kebiasaannya menggoda perempuan.
Ia mengajak perempuan itu berbincang dan perempuan itu dengan senang hati menanggapi. Mereka memutuskan untuk bertemu lagi di Paris. Sebelum mendarat, perempuan itu memberi ajakan yang tak bisa ditolak Alexander Ivor.
"Beberapa teman saya menjemput saya di bandara, Anda mau bergabung dengan kami? Saya yakin masih ada ruang di mobil," kata perempuan itu.
Ivor senang. Di bandara dua orang berpakaian rapi menunggu perempuan itu. Keempatnya masuk ke dalam mobil dan berangkat ke Paris.
Ivor duduk di sebelah sopir. Saat malam tiba salah satu laki-laki di mobil itu melihat seseorang di jalan, minta tumpangan.
"Mari bawa dia," kata teman perempuan di dalam pesawat.
Ketika mobil berhenti, 'orang yang meminta tumpangan' tersebut dan sejumlah laki-laki lain yang muncul dari kegelapan menutupi mobil tersebut. "Kami sedang diculik," teriak Ivor.
Tiba-tiba orang disebelahnya mencekiknya dan Ivor pun melawan dan membuka pintu mobil tapi orang di luar mobil mendorongnya. Orang dari luar mobil berbicara.
"Selangkah lagi kamu mati!" katanya.
Ivor pun membeku. Sebuah tangan yang memegang sapu tangan yang direndam kloroform menutup wajah Ivor dan laki-laki itu pun pingsan.
Di safe room Mossad di Paris, Eitan dan timnya menginterogasi Ivor. Ia mengaku telah menjual sejumlah dokumen ke orang Mesir dan sudah menerima sejumlah uang.
Dokumen rahasia ini sangat penting karena bisa merugikan kepetingan militer Israel yang saat ini bersitegang dengan Mesir.
Melalui telegram Hazel memerintahkan agar Kapten Israel atau Ivor dibawa pulang ke Tel Aviv. Kepala Mossad itu masih memegang teguh bahkan seorang pengkhianat pun memiliki hak hukum dan dibawa ke pengadilan.
Ivor pun dibawa pulang dengan pesawat Israeli Air Force Dakota yang terbang satu pekan sekali dari Paris ke Tel Aviv. Perjalanan ke Israel lama dan menegangkan. Pesawat itu harus mengisi bahan bakar di Roma dan Athena.
Seorang pakar anestetik Dokter Yona Elian bergabung dengan kelompok itu. Setiap lepas landas dan mendarat dokter itu memberi Kapten Ivor obat tidur.
Tetapi saat pesawat lepas landas dari Athena, terjadi bencana. Avner Israel tiba-tiba mengalami sesak nafas, denyut nadinya berdetak sangat cepat dan detak jantungnya tidak beraturan.
Dr. Elian berusaha keras membuatnya stabil dan dapat dikendalikan kembali. Seperti memberikan alat bantu pernapasan pada laki-laki itu. Tapi ia gagal, jauh sebelum pesawat dapat mendarat di Israel tahanan sudah tewas.
Pesawat itu pun melakukan pendaratan darurat dan para agen Mossad memberitahu Hazel kematian Ivor. Kepala Mossad memerintahkan agar jenazahnya dibuang dan pilot segera lepas landas. Jenazah Ivor dibuang ke laut. (*)
Sumber: https://m.republika.co.id/amp/qlx0i2377
Ivor pun membeku. Sebuah tangan yang memegang sapu tangan yang direndam kloroform menutup wajah Ivor dan laki-laki itu pun pingsan.
Di safe room Mossad di Paris, Eitan dan timnya menginterogasi Ivor. Ia mengaku telah menjual sejumlah dokumen ke orang Mesir dan sudah menerima sejumlah uang.
Dokumen rahasia ini sangat penting karena bisa merugikan kepetingan militer Israel yang saat ini bersitegang dengan Mesir.
Melalui telegram Hazel memerintahkan agar Kapten Israel atau Ivor dibawa pulang ke Tel Aviv. Kepala Mossad itu masih memegang teguh bahkan seorang pengkhianat pun memiliki hak hukum dan dibawa ke pengadilan.
Ivor pun dibawa pulang dengan pesawat Israeli Air Force Dakota yang terbang satu pekan sekali dari Paris ke Tel Aviv. Perjalanan ke Israel lama dan menegangkan. Pesawat itu harus mengisi bahan bakar di Roma dan Athena.
Seorang pakar anestetik Dokter Yona Elian bergabung dengan kelompok itu. Setiap lepas landas dan mendarat dokter itu memberi Kapten Ivor obat tidur.
Tetapi saat pesawat lepas landas dari Athena, terjadi bencana. Avner Israel tiba-tiba mengalami sesak nafas, denyut nadinya berdetak sangat cepat dan detak jantungnya tidak beraturan.
Dr. Elian berusaha keras membuatnya stabil dan dapat dikendalikan kembali. Seperti memberikan alat bantu pernapasan pada laki-laki itu. Tapi ia gagal, jauh sebelum pesawat dapat mendarat di Israel tahanan sudah tewas.
Pesawat itu pun melakukan pendaratan darurat dan para agen Mossad memberitahu Hazel kematian Ivor. Kepala Mossad memerintahkan agar jenazahnya dibuang dan pilot segera lepas landas. Jenazah Ivor dibuang ke laut. (*)
Sumber: https://m.republika.co.id/amp/qlx0i2377