Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

BAHTSUL MASAIL NU: WAQI'IYAH, MAUDHU'IYAH DAN QANUNIYAH


Oleh : KH Busyrol Karim Abdul Mughni (Rois Syuriyah PCNU Kab Kediri & Pengasuh PP Al Ihsan Jampes.)

Sejak berdirinya pada 1926, NU secara rutin dan berkala senantiasa membahas persoalan2 fiqih dlm forum khusus yg terwadahi dlm Lembaga Bahtsul Masail (LBM), salah satu dari 18 Lembaga yg dimiliki organisasi yg didirikan para ulama Pesantren itu. 
 
Lembaga ini berfungsi membahas persoalan2 aktual yg sedang terjadi dan berkembang dimasyarakat atau persoalan keagamaan yg menjadi polemik dimasyarakat ataupun masalah2 yg dipertanyakan utk mendapatkan kepastian hukumnya dari perspektif fiqih. 

Darii Bahtsul Masail (BM) NU inilah muncul berbagai keputusan organisasi ttg persoalan2 ibadah, sosial, ekonomi, kebudayaan, politik dan lain-lainnya. Dgn begitu, posisi BM sama dgn lembaga fatwa kolektif dari sisi bhw ia merupakan pembahasan mengenai hukum2 agama oleh sejumlah ulama NU sbg jawaban atas pertanyaan yg diajukan masyarakat.
Secara formal, Usia BM sudah setua NU sendiri. Organisasi ulama Pesantren ini berdiri pada Januari 1926, sedangkan BM pertama diselenggarakan pada Oktober 1926 dikota yg sama. Namun sbg tradisi, forum BM sudah ada jauh sebelum NU itu sendiri berdiri, krn tradisi musyawarah utk penetapan hukum atas suatu masalah, sudah menjadi bagian integral dari mekanisme pemecahan masalah di pondok2 pesantren yg melibatkan kiyai, ustadz dan santri senior. Dipesantren, forum BM yg secara berkala menjadi media silaturahim antar pondok2 pesantren, biasanya diselenggarakan secara periodik, atau utk memeriahkan acara2 yg diselenggarakan oleh pondok yg bersangkutan.
Di NU, forum BM diselenggarakan disemua tingkatan, dari tingkat PB, PW, PC sampai Ranting. Ditingkat Ranting, PC dan PW, BM biasanya diadakan secara periodik diwaktu tertentu, sedangkan di PB diadakan setiap kali diselenhgarakan Muktamar, Munas Alim Ulama maupun Konbes. BM yg diselenggarakan di PBNU melibatkan pengurus2 Cabang dan Wilayah NU beserta beberapa ulama se Indonesia. Sejak pertama kali diselenggarakan di Muktamar Surabaya 1926 sampai Muktamar ke 33 di Jombang 2015, LBM PBNU telah berhasil memutuskan sekitar 500 masalah2 hukum fiqih.
Di NU, keputusan2 yg dilahirkan lewat LBM nya dlm berbagai persoalan, tdk lepas dari pertanggungjawaban ilmiah yg menjadi karakter NU. Tdk ada ucapan dan perbuatan yg berhubungan dgn ibadah dan mu'amalah, kecuali di dlm ilmu Fiqih ada status hukumnya, baik dari Al Quran, Hadis ataupun ijtihad ulama. Ilmu Figih sendiri merupakan salah satu dari tiga ilmu yg menjadi pedoman pokok umat Islam dlm melaksakan ajaran agamanya.
Sementara itu, fiqih selama ini sering diejek banyak pihak sbg ilmu yg tdk mempunyai metodologi yg sistematis, rasional dan kontekstual dan dituduh sbg biang keladi kemunduran umat Islam serta mengakibatkan kaum santri dgn NU nya menjadi pasif dan stagnan, krn hanya berorientasi pada qaul ulama terdahulu sehingga forum ini menjadi tdk
dinamis. Sebab
dgn hanya menganut pada teks2 yg termaktub dlm kitab2 kuning peninggalan ulama masa lalu itu, mereka tdk mampu memberikan formula solusi masalah2 kontemporer secara rasional dan up to date dgn dinamika zaman.
Dlm konteks tsb, disini dapat dijelaskan bhw tuduhan seperti itu tidaklah benar, krn kitab2 kuning yg menjadi rujukan dlm BM itu ternyata masih aktual, sebab jawaban2 dlm forum ini yg merujuk dari kitab2 krya para ulama klasik itu, masih mampu menunjukkan diskursus fiqih yg adaptif dan fleksibel dlm menghadapi perkembangan zaman dan problem2 modern. Krn fiqih sendiri lahir melalui proses ilmu Usul fiqih yg ditunjang dgn ilmu Qawa'idul Fiqhiyah, yaitu ilmu yg bertanggungjawab terhadap lahirnya fiqih itu dan menjadi jembatan utk memahami Al Quran dan Hadis dgn pendekatan ilmiyah yg bisa dipertanggung jawabkan dari berbagai aspek. Dari kedua bidang ilmu itulah fiqih menjadi mampu memahami spirit dan problema zaman, tampil sbg ilmu yg hidup, elastis, fleksibel dan kontekstual. Ini disebabkan ilmu Usul Fiqih dan Qawai'dul Fiqhiyah senantiasa memperhitungkan dan mempertimbangkan aspek zaman, tempat, kondisi dan kemampuan manusia yg dikenai hukum2 Fiqih itu, sehingga kasus di suatu wilayah tertentu dan dizaman tertentu, ketetapan hukumnya bisa berbeda dgn kasus yg sama dizaman ataupun diwilayah yg berbeda.
Dari sinilah relevansi fiqih akan tetap terjaga dgn baik.
Selain itu, para peserta BM dlm memberikan fatwa hukum, khususnya ditingkat PBNU, kini sudah mulai membuka pintu 'Ijtihad Manhaji' sebagaimana yg telah diputuskan dlm Konbes NU di Bandar Lampung 1992 ttg dibolehkannya menempuh sistem bermadzhab secara Manhaji, khusuanya jika tdk mendapatkan jawaban ketika merujuk pada kitab2 kuning, dgn menggunakan qaidah2 dan aturan2 yg telah ditetapkab oleh imam Madzhab.
Hanya saja, para peserta BM meskipun sudah mendapatkan hasil fatwa hukum dari metodologi Manhaji, mereka biasanya masih berusaha mencari landasan "Teks Nash" nya dari qaul ulama. Jadi kelihatannya memang tekstual, tetapi sebetulnya penuangan teks itu juga melalui proses berfikir Manhaji yg panjang dan sangat teliti.
Di forum BM, Perdebatan panjang dlm memahami, menganalisis, merumuskan dan menetapkan hukum berdsarkan redaksi dari kitab2 kuning menjadi pemandangan menarik. BM NU merupakan forum yg sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Dikatakan dinamis krn persoalan2 yg dibahas selalu mengikuti perkembangan berbagai permasalahan yg dialami/terjadi dimasyarakat. Demokratis krn dlm forum tsb tdk ada perbedaan antara kiyai, dan santri yg tua maupun muda. Pendapat siapapun yg paling kuat itulah yg diambil. Sedangkan dikatakan berwawasan luas, sebab dlm forum BM tdk mendominasi satu pendapat dan para pesertanya selalu sepakat dlm khilaf. Artinya, jika suatu masalah yg dibahas dikalangan ulama terdapat dua pendapat yg salah satu dari keduanya tdk dlm kategori lemah/dho'f, maka para peserta BM sepakat dlm khilaf.
Sbg ormas yg menganut salah satu dari empat madzhab, maka referensi yg digunakan dlm BM NU adalah kitab2 "Mu'tabarah" yaitu kitab2 kuning dari karya para ulama empat madzhab, khususnya madzhab Syafi'i yg menjadi panutan kaum muslim di negeri kita, sebagaimana yg dirumuskan di Muktamar Situbondo 1984. Oleh sebab itu, meski mayoritas tokoh dan warga NU adalah penganut madzhab Syafi'i, namun Madzhab diluar Syafi'i pun sering dikemukakan sbg alternatif, khususnya lagi ketika tak ada jawaban dari madzhab Syafiiyah yg bisa dibuat rujukan dlm masalah2 yg telah terlanjur sering berlaku dimasyarakat kita.
Sejak didirikannya NU pada 1926 sampai Munas Lampung 1992, BM NU adalah Bahtsu Masail Diniyah Waqi'iyah,
tetapi setelah Munas Lampung 1992,
BM dikembangkan menjadi ada Bahtsul Masail Diniyah Maudhu'iyah.
Kemudian sejak Konbes NU di Surabaya pada 2006, dikembangkan lagi menjadi ada Bahtsul Masail Diniyah Qanuniyah/perundang-undangan.
Bahtsul Masail Diniyah Waqi'iyah adalah pembahasan ttg persoalan2 tematik, menjawab masalah kasuistik yg terjadi dimasyarakat, sedangkan Bahtsul Madail Diniyah Maudhu'iyah, membahas ttg masalah2 yg diajukan secara konseptual, argumentatif, yg mencerminkan sebuah pemikiran utuh, bukan sekedar halal haram, forum utk melahirkan konsep2 hukum dgn mempertemukan beberapa ayat, hadis, praktik kenegaraan dan praktik kehidupan, seperti Islam dan kesetaraan gender, NU dan pemberdayaan masyarakat sipil. Adapun Bahtsul Masail Diniyah Qanuniyah/perundang-undangan, adalah forum utk mengkaji Undang-Undang (UU) dlm perspektif agama utk memberikan masukan kpd Fewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya yg dari NU utk kepentingan bangsa dan bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Misalnya Undang-Undang (UU) No. 20/2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 3/2004 ttg Bank Indonesia dll.
Alur yg digunakan dlm forum BM PBNU ialah:
1 - Merumuskan masalah yg menjadi isu aktual yg jawabannya ditunggu-tunggu oleh publik. PBNU yg diwakili oleh LBMNU bertugas merumuskan masalah aktual ini.
2 - Mengambil masalah yg diusulkan oleh PWNU atau PCNU. Masalah yg diusulkan biasanya masalah yg tdk selesai dibahas diforum PW atau PC dan masalah tsb mempunyai signifikansi utk dibahas.
3 - Usulan dari Banom NU dan lain2.
Meskipun dlm Pra Muktamar, Munas dan Konbes sudah dirumuskan jawaban yg mengakomodir seluruh pandangan peserta, namun dlm forum Muktamar, Munas maupun Konbes, tetap saja terjadi perang pendapar dgn argumentasi masing2 utk memperjuangkan kepentingan masing2 agar dijadikan sbg rumusan jawaban final. Dlm konteks ini, faktor mayoritas dari para peserta BM, sangat berpengaruh dlm finalisasi hasil Bahtsul Masail. Artinya, jika pendapat didukung oleh mayoritas peserta, biasanya pendapat itu menjadi keputusan forum dan jika pendapat itu ditolak oleh mayoritas, maka pendapat tsb hampir pasti kandas ditengah jalan, utk selanjutnya dibahas lagi doforum berikutnya.