Semua Kalangan berhak menikmati kopi asli
Oleh: Hasan Sidik, SE
PurwakartaOnline.com - Sejak saya sadar soal kehidupan dan lingkungan, saya hanya tahu bahwa untuk membeli baju lebaran, sate dan ketan, pindang atau asin, martabak, itu di pasar Wanayasa.
Pergi ke pasar itu, saat kecil, sesuatu yang menggembirakan. Bahagia minta ampun. Apa lagi jika dibelikan momobilan atau sepatu solobong.
Seiring perkembangan jaman, pasar itu bermetamorposis. Mulanya muncul pasar modern, kini banyak pasar online.
Dulu pasar itu ada lokasinya, atau dalam ilmu marketing disebut place, sekarang pasar itu banyak yang non lokasi. Pasar maya, pasar abstrak.
Walaupun berbagai inovasi itu muncul dan menawarkan ragam kemudahan serta fasilitas, dalam benak saya, pasar tradisional semacam Pasar Wanayasa yang hanya buka dua kali dalam seminggu itu tak tergantikan.
Terlebih, pasar Wanayasa itu sudah lama, pasar buhun. Belum ada pasar sebesar pasar Wanayasa, sekalipun Kecamatan tersebut telah dimekarkan menjadi Kiarapedes.
Di Kiarapedes sendiri tidak ada pasar representatif. Hanya ada pasar 'rametuk' seperti di Taringgul Landeuh dan Ciracas.
Apa yang menjadi daya tarik pasar tradisional? Hemat saya, kultur yang dibangun. Tradisi yang terawat, interaksi humanis, silarurrahim yang terjalin, serta dagangan yang ditawarkan dan harganya.
Diantara dagangan, di dalamnya jajanan tradisional. Rasanya tak bisa diganti. Harganya juga super hemat.
Lamun resep martabak, sok asaan martabak di pasar jeung nu di sisi jalan. Pasti beda rasana. Keur mah waktuna ge beda, isuk-isuk. Atuh hargana tibang 5.000 sagebleg.
Sate jeung ketan. Lamun datang ka warung sate, sabarahaeun? Di pasar, ketan lima rebu perak sagebleg, satena 1.200/tusuk.
Pindang, masih bisa meuli lima rebueun. Baju, samping, sapatu budak, marurah. Kualitasna teu jauh jeung nu di distro. Sasetel baju sakola masih bisa ku duit 80 rb.
Ceuk paribasana, mawa duit ladang cau saturuy ge balik ti pasar mah bisa ngajingjing keresek metet.
Eh, kenapa jadi ditranaslate gini ya tulisan di beberapa paragraf akhirnya?
Mungkin belum ngopi.
Yuk, ngopi Pitong dulu. Di rumah, di kantor, atau di pasar.
Biar cenghar..