Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ketua Ansor Purwakarta, HM. Mahmud: Silakan caci maki Ansor-Banser sepuasnya, tapi jangan caci maki Ulama kami!

PurwakartaOnline.com - Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor (PC GP Ansor) Kabupaten Purwakarta, H. Muhamad Mahmud bin Al-Maghfurllah KH. Adang Badruddin, menyampaikan kalimat yang membuat hening seisi ruangan, dalam kegiatan PKD GP Ansor Kecamatan Purwakarta (Sabtu, 29/8/2020).

HM. Mahmud menyatakan bahwa dirinya sebagai Kader Ansor, berikut organisasi yang dinaungi yakni Banser kerap di-bully di media sosial. Dihadapan para calon kader GP Ansor dengan tegas HM Mahmud mengatakan caci maki itu sudah jadi 'cemilan sehari-hari' bagi dirinya.

"Silakan caci maki kami (Ansor dan Banser), tapi jangan caci maki Ulama kami!" Tegas Mahmud, menyiratkan betapa pentingnya posisi Ulama dalam organisasi GP Ansor.

Pengkaderan GP Ansor

HM. Mahmud hadir dalam kegiatan pengkaderan GP Ansor yang dinamakan Pelatihan Kepemimpinan Dasar (PKD), untuk memberikan beberapa arahan dan materi. PKD dilaksanakan di Pondok Pesantren Salafiyah di Jalan Beringin, Kecamatan Purwakarta.

HM. Mahmud, mengibaratkan organisasi GP Ansor sebagai rumah. Dengan begitu, kader sendiri sebagai pemilik dan penghuni rumah yang berkewajiban untuk mengurus dan menjaganya.

"Pertama muncul adalah kewajiban dan tanggung jawab. Ansor adalah rumah kita, kita sendiri yang wajib mengurus rumah kita sendiri," ujar Mahmud.

Berkah mengurus NU

Mengisahkan pengalamannya menjadi anggota hingga menjadi pengurus GP Ansor, HM. Mahmud menceritakan suka dan duka yang telah dialami. Mahmud menyatakan dirinya tidak pernah merasa berduka, ketimbang berduka ia lebih menganggap apa yang dialami adalah bagian pengorbanan dalam perjuangan.

"'Duka' tidak ada, itu hanyalah bagian dari perjuangan. Sedangkan 'suka' justru banyak sekali," terang Mahmud.

Beberapa hal harus diperhatikan saat masuk GP Ansor adalah 'niat'. Awal masuk GP Ansor harus didasari dengan keikhlasan, kemudian niat berkhidmat dan berbakti kepada Ulama.

"Yang sara rasakan, saat berkhidmat kepada Kyai, apapun yang berat menjadi terasa ringan. Tidak ada materi (red. upah/duniawi) yang bisa kita harapkan dengan mengurus NU dan (GP) Ansor," ujar Mahmud.

"Tapi kita akan mendapatkan berkah. Selama di (GP) Ansor, saya tidak dapat materi, yang ada malah mengeluarkan (materi). Tapi Sahabat-sahabat (panggilan khas GP Ansor - red) juga bisa melihat, saya dalam materi tidak berkurang (karena berkah)," terang Mahmud menjelaskan dengan mantap.

Pentingnya sikap rela berkorban saat menjadi kader GP Ansor patut digaris-bawahi. GP Ansor saat ini adalah generasi penerus, yang mendapat 'warisan' berupa organisasi NU dan sebuah bangsa besar yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Untuk NU dan NKRI apapun layak kita korbankan, bahkan darah dan nyawa. Kita (saat ini -red) hanya meneruskan apa yang telah Orang Tua, Guru, Para Kyai dan Ulama terdahulu dirikan," tegas Mahmud.

"Ketika kita tidak mau berkorban untuk NU, kita harus malu! Ini adalah warisan para ulama terdahulu. Kita enak sekarang, makan enak, tidak dalam situasi terjajah!"

Nasionalisme Warga NU

Jika ideologi asing, meskipun berkedok 'syariat islam' dianalogikan sebagai 'tamu tidak diundang', yang masuk ke Indonesia kemudian merusak keutuhan bangsa, maka hal tersebut tidak bisa dibiarkan.

"Indonesia adalah rumah besar kita bersama, kewajiban kita juga untuk menjaga. Saat ada 'tamu tak diundang' datang ke rumah kita. Lalu merusak rumah, masa akan dibiarkan?!"

HM. Mahmud mengajak untuk melakukan upaya dan bertindak sepantasnya kepada oknum-oknum pangasong ideologi berbahaya, namun tetap dalam koridor hukum dan cara yang baik.

"Tentunya dilakukan dengan cara yang baik, jika bisa dengan kelembutan. Saya tahu kita ini masih muda, tapi cara yang baik tentu harus kita kedepankan," ujar Mahmud mengingatkan.

Dibalik isu SARA

Menanggapi situasi terkini, HM Mahmud memberikan beberapa pandangan mengenai berkembangnya isu-isu berbau SARA di Indonesia. Menurut Mahmud, oknum dari golongan tertentu memahami benar karakter masyarakat khususnya Muslim di Indonesia.

"Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tapi ada sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki fanatisme cukup kuat. Meskipun keseharian masih banyak bolong ibadah wajib, tapi saat agama islam 'dihina' mereka akan marah,"

"Fanatisme inilah yang dimanfaatkan betul oleh golongan yang tidak bertanggung jawab untuk merusak keutuhan Indonesia sebagai bangsa dengan masyarakatnya yang majemuk," ujar Mahmud panjang lebar.



Ulama NU mawa, Urang NU milu

Sikap-sikap tidak pantas berkembang, Pancasila sebagai dasar negara mulai banyak dipertentangkan. Dibenturkan dengan 'syariat islam' versi tafsiran sebuah golongan dalam Islam yang ternyata di negara asalnya tidak diterima oleh mayoritas masyarakat dan pemerintahnya sendiri.

"Seberapa tinggi ilmu orang-orang yang mengkafirkan, dibandingkan para Ulama yang dulu mengizinkan digunakannya Pancasila sebagai dasar negara?" Mahmud melontarkan pertanyaan.

Selanjutnya HM Mahmud mengulas sebuah jargon yang dirangkai oleh Al-Maghfurllah Abah Cipulus, yaitu 'Ulama NU mawa, Urang NU milu'. Jargon ini merupakan solusi kreatif Abah Cipulus untuk menyelamatkan 'umat' dari sikap 'sok tahu' tanpa ilmu dalam beragama Islam.

"Jika kita ingat jargon Al-Maghfurllah Abah Cipulus, maka kewajiban kita adalah mengikuti Ulama. Karena jika kita ini memiliki kekurangan secara keilmuan (agama), sepantasnya kita mengikuti yang 'tahu', yaitu Ulama," tegas Mahmud.

"Ulama yang mana yang harus diikuti? Yaitu ulama yang jelas sanad keilmuannya. Tugas kita (GP Ansor) tinggal berkhidmat dan mengawal para Ulama. Buatlah agar Ulama nyaman mensyi'arkan ideologi Ahlussunnah Waljama'ah,'" pungkas HM Mahmud. (Ezs)