Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Abah Cipulus, penggemar dongeng yang menjadi Juru Dakwah handal


Oleh: H. Hadi M Musa Said, M.Si.,

Adalah Aki Adi Supriyadi sang juru dongeng di Pasar Bojong sekitar tahun 1962 atau lebih akrab dipanggil Mang Yadi, pedagang ikan pindang yang asli Garut, perantauan yang akhirnya menikah dengan orang Bojong dan menjadi penduduk Desa Bojong Timur pasar Bojong.

Mang Yadi adalah guru dongengnya Abah (KH Adang Badruddin) waktu kecil. Abah seringkali mengikuti kemana Mang Yadi pergi mendongeng, dulu juru dongeng seringkali ditanggap dalam hajatan pernikahan atau sunatan.

Bahkan Abah juga meminta Mang Yadi untuk mendongeng dirumahnya yang memang tidak berjauhan dengan tempat tinggal Abah sepulang mengaji di masjid atau majelis. 

Anak-anak seumuranya waktu itu sudah berjejer dan melingkar dirumah Mang Yadi untuk mendengarkan dongenganya, pada waktu itu dongeng memang menjadi hiburan tersendiri karena belum ada hiburan yang lain seperti TV, Radio, Android apalagi Youtube.

Abah memang sangat cerdas sekali, ini kesaksian dari Mang Yadi, jadi segala sesuatu yang disampaikan guru-gurunya langsung bisa di terima dan dihafal. Kemudian bisa diceritakan kembali oleh Abah ke teman-temanya yang lainnya, kata Mang Yadi, saat saya temui di rumahnya di lingkungan pasar Bojong

Aki Adi Supriyadi, beliau yang biasa dipanggil Mang Yadi berusaha mengingat masa lalunya kembali saat saya datang ke rumah beliau bersama Kang Ujang Baihaqi Keponakanya Abah. Tentu sangat kaget, "ada apa ini? / aya naon?" dengan logat sundanya yang sangat kental.

Aki Yadi mulai bercerita:

Waktu itu sekitar tahun 1962, saya mengenal Adang, atau Dadang yang kita kenal hari ini dengan Abah Cipulus, saya ingat Adang atau Dadang setiap mendengarkan cerita selalu paling depan dan betul-betul menikmati dan mendengarkan dengan hikmat. Sampai-sampai melihat gerakan bibir dan ekspresi saya dalam bercerita.

Dongeng-dongeng tersebut juga seringkali mengawali ceramah-ceramah Abah dalam dakwahnya dengan memodifikasi sesuai jamaah yang dihadapinya, untuk lebih memudahkan dalam menyampaikan dan mudah dipahami dan diterima oleh jamaah. 

Dongeng-dongeng yang penuh pelajaran hikmah dan pesan kebaikan tentunya menjadi cara dan model serta modal awal Abah berceramah. Dan memang, dalam dakwahnya Abah seringkali diselingi dengan dongengan yang materinya digubah atau sebagian juga masih asli karena memang kebanyakan dongeng tersebut juga cerita soal sejarah kenabian adalagi soal kehidupan Raja-raja dimasa lalu yang tergambar dalam banyak tinggalan sejarah, serta cerita-cerita rakyat yang itu bisa dirasakan langsung di masyarakat.

Misal dongeng soal Babad Cianjur atau Cianjur Geulis ketalanjuran, Kabayan si tukang Tutut, Nabi Paparas, Raja-raja dalam pewayangan, perjuangan para Wali-wali Allah dan masih banyak cerita dongeng yang lainnya. Hal inilah yang melatar-belakangi kemampuan Abah berbicara atau berdakwah di depan Publik dan menjadi pendakwah yang mampu dan bisa diterima semua kalangan. Abah Cipulus seringkali dipanggil dalam setiap acara keagamaan baik rajaban, maulid Nabi, di berbagai Daerah di Jawa Barat dan daerah lainya, juga di acara-acara pemerintahan.

Abah begitu luas pergaulannya dan begitu lugas cara dakwahnya, ringan serta mudah diterima oleh beragam kalangan yang latar belakangnya berbeda sekalipun. Abah juga seringkali menerima tamu dari berbagai pihak yang secara keyakinan berbeda, tapi semuanya diterima dengan senang hati dan penuh hormat.

Bahkan beberapa orang pernah mengajak berjuang atau berdakwah dengan jalur yang lebih keras, tapi Abah punya pilihan jalur dakwahnya sendiri, sesuai dengan ajaran guru-gurunya yang memilih Ahlussunah Waljamaah An-Nahdliyah atau NU sesuai dengan amanah Mama Ijudin, Gurunya sekaligus mertuanya.

Sekilas masa remaja Abah sebelum mondok di Pesantren Cipulus dari awal masa remaja. Abah sudah sering diminta mendongeng diacara hajatan warga, seperti pernikahan atau sunatan dan seringkali diminta mengulang cerita oleh teman-teman sebayanya atau sahabat di sekolahnya.

Menurut Mang Yadi dan ada juga tambahan kesaksian ini saya dapatkan dari teman sekelasnya selama masa sekolah di SR Pilar Bojong, bapak Sunarya Saifuddin Cipendey Bojong atau nama panggilanya Mang Narya yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa di Cipendey.

Adang muda remaja atau Abah itu memang sangat cerdas sekali, jadi kalau di-wuruk ngaji atau belajar mengaji mendengarkan gurunya sekali langsung hafal dan bisa memahaminya. Dan saya sendiri (Pak Narya) seringkali meminta Abah untuk mengulangi pelajaran, 6 tahun lebih saya berteman dan bersama Abah itu banyak cerita dan pelajaran berharga termasuk waktu saya mau maju jadi Kepala Desa di sini, desa Cipeundeuy saya minta bantu dan doa sama Abah dan waktu sudah jadi kepala desa pun Abah saya minta untuk mengisi pengajian di rumah saya di Cipeundeuy, kata Pak Narya. 

Kembali ke Pak Yadi juru dongeng pasar Bojong yang menjadi guru dongengnya Abah, Abah sangat suka dengan dongeng Babad Cianjur atau Geulis Cianjur katalanjuran, yang menceritakan tentang satu keluarga kaya raya yang dikaruniai dua orang anak perempuan cantik rupawan.

Suatu saat keluarga kaya raya tersebut bertemu dengan seorang pemuda remaja yang sangat miskin dan hidup sebatang kara yang sudah ditinggal kedua orang tuanya, dan ahirnya ditawari bekerja di rumahnya sekaligus diangkat sebagai anak.

Dan beberapa bulan kemudian karena pemuda remaja tersebut terlihat sangat jujur dan usaha orang kaya tersebut bertambah maju maka pemuda remaja tersebut diangkat menjadi anak angkatnya oleh keluarga kaya dan di-pesantren-kan untuk menuntut Ilmu Agama kepada seorang yang alim.

Sehingga akhirnya, pemuda remaja itu menjadi dewasa dan sangat pintar, menjadi cerdik pandai dan bijaksana. Karena sangat rajin dan bersungguh-sungguhnya dalam belajar.

Tibalah saatnya pemuda yang sudah selesai menuntut Ilmu itu pulang kembali ke keluarga kaya (Pemuda itu bernama Adung, untuk lengkapnya tidak disebutkan sama Aki Yadi) pemuda tersebut pulang ke orang tua angkatnya yang sangat bangga dan berbahagia karena pemuda tersebut bisa menyelesaikan pelajaran di pesantren dengan lebih cepat dan sangat baik. 

Walaupun namanya orang mesantren tidak ada batas dan selesainya dalam menuntut ilmu, dan orang tua angkatnya pun berpikir bagaimana kalau si Pemuda bernama Adung dijodohkan dengan salah satu putrinya atau anak gadisnya yang ada 2 orang.

Ahirnya pemuda tersebut dijodohkan dengan salah satu putri dari keluarga kaya tersebut. Putri yang pertama tentu ditawari terlebih dahulu sebagai anak yang tertua, tapi anaknya menolak karena tidak bisa menyukai si pemuda tersebut. Sampai anak sulungnya keluarga kaya tersebut kabur dari rumah dan pergi ke Jakarta.

Singkat cerita adiknya ditawari oleh orang tuanya untuk dijodohkan dengan Pemuda Adung dan karena Putri keduanya anaknya menurut dan baik, tentu setelah tahu kebaikan dan kecerdasan Pemuda Adung dan Putri kedua dari keluarga kaya ahirnya menerima perjodohan tersebut dengan Pemuda miskin yang sudah menjelma menjadi seorang yang alim dan sangat cerdas tersebut, menjadi ahli ilmu Agama.

Dikemudian hari si pemuda dan putri kedua keluarga kaya tersebut hidup sangat bahagia dan dikarunia anak serta tinggal dirumah tinggalan orang tuanya. Berbekal keilmuan dan keluhuran budi yang tertanam dalam dirinya serta warisan yang melimpah oleh orang tuanya terus dikembangkan dan semakin maju serta sukses.

Pada akhirnya, Pemuda Adung mendirikan sebuah Pondok Pesantren sesuai dengan amanah Gurunya di Pesantren. Dan sangat maju bahkan pemuda alim tersebut menjadi Ulama Besar yang sangat disegani oleh semua orang.

Konon kakak pertama yang waktu itu dijodohkan tidak mau menerima dan meninggalkan rumah, pulang dengan penyesalan yang mendalam. Hidupnya semakin menderita karena hidup sebatang kara dikota, terkena penyakit yang tidak biasa, dan selama di kota seringkali berhubungan dengan banyak orang  Akhirnya setelah pulang kembali dan bergabung dengan adiknya mulai menata hidupnya dengan baik dan ikut bersama membantu adiknya.

Cerita ini diceritakan langsung oleh Aki Adi Supriyadi atau lebih akrab dipanggil Mang Yadi, Juru Dongeng di Pasar Bojong yang menjadi guru ngadongengnya Abah Cipulus, seorang pendatang dari Garut yang berjualan ikan pindang di Pasar Bojong.

Sementara itu dari teman sekolahnya Abah, yaitu Mang Narya yang pernah Sekolah bareng selama di SR Pilar Bojong selama 6 tahun lebih bersama Abah, juga ada cerita Kabayan si tukang Tutut (tutut adalah keong sawah).

Kabayan yang kedul atau malas sekaligus lugu, suatu saat dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang gadis di kampungnya. Saat malam pernikahan diundanglah Ajengan untuk mengisi pengajian.

Dan Kabayan ini kan terkenal lumayan malas, lugu, lucu tapi banyak akalnya. Sehari-harinya seringkali hanya tiduran dan berdiam diri di rumah dan mungkin saking kesalnya orang tua Si Kabayan suatu saat marah pada Kabayan dan meminta Kabayan untuk bekerja apa saja, nyari tutut atau apalah disawah, akhirnya Kabayan mulai setiap hari mencari tutut di sawah.

Selanjutnya malam pernikahan Kabayan yang mengundang Ajengan untuk mengisi pengajian, singkat cerita pengajian pun dimulai, tapi sebelum penceramah Ajengan maju tentu harus ada yang menjadi qori untuk membaca Al-Qur'an dan sholawat.

Karena dicari-cari tidak ada atau berhalangan, dimintalah Kabayan oleh mertua atau mitohanya untuk menjadi qori. Disinilah Kabayan mulai gusar dan panik karena memang tidak biasa dan tidak bisa membayangkan bagaimana menjadi seorang Qori, tidak pernah belajar di Pesantren apalagi menjadi Qori.

Tapi karena dipaksa dan disuruh mertuanya atau Mitohahnya Kabayan pun beranikan diri dengan percaya diri. Naiklah Kang Kabayan ini ke panggung, biasa sebelum mengaji baca Salam dengan difasih-fasihkan:

"Assalamu'alakum Warahmatullahi wabarokatuh, Audzubillahiminasyaitonirojiiim. Busmillahirrohmanirohiiim... " menirukan gaya Qori yang terkenal. 

Dengan nada Qori yang menurut Kabayan paling baik diwaktu itu, seperti yang pernah didengarnya, orang yang mendengarnya pun terkagum-kagum dan bilang wah Kabayan hebat kabayan hebat sambil berharap lanjutanya. 

Ternyata Kabayan bisa qori dan suaranya cukup merdu untuk ukuran yang ngaji dan menjadi qori dadakan malam itu

Dan tibalah ayat yang akan di baca oleh Kabayan bingung sampai berfikir cukup lama, karena kebiasaan kabayan di sawah suka mencari kapiting, belut, lele ikan betok dan tutut keluarlah kalimat dengan nada seorang Qori... 

"Uraaaang, Kapitiiing, beluuut, leleee, wa betook,..... "

Geeer seketika para jamaah tertawa riuh dan gaduh, semua jamaah yang hadir tertawa ngakak karena tingkah polah Kabayan..... 

Wallahu a'lam bishowab...

bersambung..

Cipulus Minggu 9 Agustus 2020
______

Penulis adalah Santri Abah Cipulus, Ketua PP GP Ansor, Khadam/Humas PP Cipulus, Komite SMK/SMA Al-adar.