Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Masa depan agama era 4.0 pasca pandemi corona. part 2

Oleh: Ramlan Maulana

Bagaimanakah masa depan agama di era revolusi industri 4.0 pasca pandemi covid 19? 

Pertanyaan ini saya ajukan dalam tulisan saya terdahulu. 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin memulainya dengan membahas era yang diistilahkan dengan nomenklatur "era new normal". 

Istilah New Normal pada awalnya merupakan istilah dalam bisnis dan ekonomi.

Yang mengacu pada kondisi keuangan setelah krisis keuangan 2007-2008 dan setelah resesi global 2008-2012. 

Sejak itu, istilah ini telah digunakan dalam berbagai konteks lain untuk menyiratkan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak normal telah menjadi biasa. 

Termasuk pandemi covid-19 ini telah mempopulerkan lagi istilah new normal.

Era new normal, dalam konteks pandemi adalah perubahan budaya yang menitik beratkan pada pola hidup bersih dan sehat (PHBS), memakai masker kalau keluar rumah, mencuci tangan dan seterusnya.

Jadi, Era new normal bisa disebut sebagai era dimana orang hidup dengan COVID-19. 

Bekerja dari rumah, produk harus online, komunikasi juga jadi serba online sehingga terbiasa dan menjadi rutinitas baru. 

Kedepan akan banyak standar dan protokol baru diterapkan di berbagai aktivitas. 

Seperti masuk ke hotel, perkantoran atau restoran, termasuk dalam aspek ritual keagamaan, akan dicek dulu suhu tubuh, persis seperti yang dilakukan di masa sekarang. 

Mungkin nanti akan ada protokol tambahan lagi dengan tujuan mengurangi risiko penyebaran COVID-19 di masa depan.

Berdasar penjelasan di atas, maka bisa dikatakan bahwa masa depan agama akan mempertimbangkan budaya baru sebagai perwujudan dari penyesuaiannya terhadap protokol covid.

Agama-agama besar, apalagi yang terorganisasi rapi, pada dasarnya relatif adaptif dengan perubahan, termasuk ketika ritualnya harus dibatasi untuk mencegah penularan penyakit. 

Ajaran mereka fleksibel, bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang berlaku saat itu. 

Bahkan ketika kegiatan ibadah haji dan umrah di Tanah Suci yang sangat sentral dan kolosal dalam Islam itu pun untuk sementara ditunda, tidak ada keberatan yang berarti dari umat. 

Mereka menyadari keselamatan manusia di atas segalanya.

Akan tetapi, sampai kapan prosedur itu diberlakukan? Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. 

Oleh karena itu, alih-alih terus menerus mengisolasi diri di rumah, muncul wacana agar kita kembali ke kehidupan new normal. 

Kira-kira apa yang akan terjadi dengan kehidupan beragama di era baru itu?

Kemungkinannya, jelas sekali, adalah umat akan kembali ke rumah ibadah seperti biasanya. 

Dalam skema pemerintah Indonesia, hal itu bisa dilakukan mulai tanggal 6 Juli 2020. Cukup pasti pembatasan masih berlaku. 

Dalam pelaksanaan shalat berjamaah di masjid, misalnya, jarak antar jamaah masih tetap harus dijaga. 

Sementara itu, kegiatan keagamaan berskala besar, seperti acara muktamar, masih terlarang hingga waktu yang belum ditentukan.

Namun di luar perkara teknis ritual tersebut, banyak hal dari kegiatan agama selama pandemi sekarang yang menarik untuk direnungkan—dan, oleh karena itu, dilanjutkan. 

Meski menjadi lebih individualistik, beragama dengan cara di rumah saja memungkinkan para penganutnya mempelajari keyakinan akan adanya Tuhan secara lebih mendalam.

Di rumah mereka bisa membaca kitab suci lebih intensif, terlebih bagi umat Islam di bulan Ramadan kali ini.

Dan mendengarkan beragam pelajaran agama yang disampaikan oleh para ustadz atau kyai atau pendeta di kanal-kanal media sosial, selain siaran televisi biasa. 

Hal seperti malah agak susah dilakukan tahun-tahun kemarin dalam situasi normal.

Saya sendiri mengalami itu. Baru sekarang saja saya secara sungguh-sungguh mengikuti pengajian kitab kuning online. 

Supaya lebih nyaman dalam memaknai Al-Munqidz min Ad-Dhalal karya Al-Ghazali yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla lewat kanal Facebook setiap jam 9 malam, saya bahkan membeli kitabnya. 

Dengan itu saya bisa menuliskan arti kata-kata bahasa Arab yang tidak dimengerti, sehingga bisa dibaca lagi di kemudian hari. 

Saya kira Pengajarnya, Ulil Abshar-Abdalla, juga tidak akan sempat membacakan kitab itu setiap malam dalam kondisi normal. Dengan kata lain, ini adalah a blessing in disguese.

Kalau kegiatan seperti itu terus berlanjut, saya optimis agama akan lebih bersinar di era new normal. 

Yang dimaksud bersinar adalah agama akan dipelajari lebih sungguh-sungguh melalui khazanah intelektualnya yang kaya. 

Hal ini berlaku tidak hanya bagi orang Islam, tetapi juga penganut agama lainnya.

Harus diakui selama pandemi covid-19 saat ini kreatifitas tokoh-tokoh agama meningkat. 

Karena tidak bisa berceramah di rumah ibadah seperti biasa, mereka justru berpikir keras untuk menghasilkan ragam dakwah yang lebih menarik. 

Karena yang tersedia adalah media digital, maka mereka tidak mempunyai pilihan banyak selain memanfaatkan itu.

Di era new normal mendatang, semoga agama tidak lagi hanya identik dengan kerumunan, tetapi juga keberagaman intelektual yang memperkaya makna menjadi manusia.

_____