Irman Sahrul: Corona harus dihindari, tapi ikatan sosial harus direkatkan
Irman Sahrul tanggapi isu corona |
Oleh : Irman Sahrul
Banyak cara publik merespon wabah virus Corona melalui sikap dari yang sederhana sampai lebih waspada. Yang menarik dari sini adalah kecemasan yg berlebih dari masyarakat dalam menyikapi, sampai-sampai tumbuh stigma sosial corona.
Menurut Goffman (1963) stigma adalah proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang individu di mata individu lannya atau dimaknai sebagai perilaku menyimpang yang mengarah kedalam situasi dimana seseorang tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat normal.
Tumbuhnya stigma corona pada masyarakat membentuk perilaku yang berlebihan dalam menyikapi corona.
Masyarakat takut dengan corona, sampai membuat penolakan secara paksa dalam interaksi sosial, prilaku mengucilkan pada pasien ataupun petugas penanganan corona, hingga pada jenazah yang akan di kuburkan pada korban corona.
Dari situ kita mengapresiasi bahwa masyarakat hari ini sudah sangat respek dalam bersikap antisipasi penularan corona, jaga jarak, memang wajar tapi mengusir, menghakimi, mengucilkan dan menstigmatisasi bukan sebuah solusi.
Memang benar Antisipasi ini bukan soal perasaan, tapi logikanya untuk keberlanjutan hidup di masa depan.
Tapi bagaimana mungkin kita bisa hidup dengan memutuskan rantai kehidupan. Ingat pepatah dulu, kita boleh tidak suka pada sifatnya, tapi bukan orang nya.
Ini pun demikian, kita boleh tidak suka dengan penyakitnya, tapi bukan orangnya. Jaga jarak dengan penyakit, bukan kemanusiaan (Nazwa sihab).
Jika stigmatisasi tidak diantisipasi dan diedukasi, berpotensi pada perilaku masyarakat yg terkena bisa jadi enggan peduli.
Takut bila melapor maka dia akan di caci, diasingkan seolah ia tawanan, dijauhi seakan ia pembawa keresahan, jika demikian maka bukan antisipasi, malahan meningkatkan potensi karena virus semakin sulit di deteksi.
Virus Corona adalah penyakit yang luar biasa berbahya, maka dari itu di butuhkan upaya bersama untuk memeranginya, kita tidak bisa sendirian melawan corona.
Jarak fisik memang perlu direnggangkan, tapi ikatan sosial perlu di rekatkan (Nazwa sihab).
Mari semua bahu membahu berupaya memerangi virus Corona, korban, petugas, dokter, dan masyarakat, kita semua adalah pahlawannya!
Semangat berikhtiar dan jangan lupa berdoa!
Dari situ kita mengapresiasi bahwa masyarakat hari ini sudah sangat respek dalam bersikap antisipasi penularan corona, jaga jarak, memang wajar tapi mengusir, menghakimi, mengucilkan dan menstigmatisasi bukan sebuah solusi.
Memang benar Antisipasi ini bukan soal perasaan, tapi logikanya untuk keberlanjutan hidup di masa depan.
Tapi bagaimana mungkin kita bisa hidup dengan memutuskan rantai kehidupan. Ingat pepatah dulu, kita boleh tidak suka pada sifatnya, tapi bukan orang nya.
Ini pun demikian, kita boleh tidak suka dengan penyakitnya, tapi bukan orangnya. Jaga jarak dengan penyakit, bukan kemanusiaan (Nazwa sihab).
Jika stigmatisasi tidak diantisipasi dan diedukasi, berpotensi pada perilaku masyarakat yg terkena bisa jadi enggan peduli.
Takut bila melapor maka dia akan di caci, diasingkan seolah ia tawanan, dijauhi seakan ia pembawa keresahan, jika demikian maka bukan antisipasi, malahan meningkatkan potensi karena virus semakin sulit di deteksi.
Virus Corona adalah penyakit yang luar biasa berbahya, maka dari itu di butuhkan upaya bersama untuk memeranginya, kita tidak bisa sendirian melawan corona.
Jarak fisik memang perlu direnggangkan, tapi ikatan sosial perlu di rekatkan (Nazwa sihab).
Mari semua bahu membahu berupaya memerangi virus Corona, korban, petugas, dokter, dan masyarakat, kita semua adalah pahlawannya!
Semangat berikhtiar dan jangan lupa berdoa!
______
Warta Warga
Irman Sahrul saat ini aktif dalam gerakan kemasyarakatan beberapa lembaga. Diantaranya Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (Isnu) dan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA). Saat ini Penulis tinggal di Wanawali, Cibatu, Purwakarta