Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hasan Sidik: Menjumpai Kekasih Kita


Oleh: Hasan Sidik, SE.,

Verifikasi. Ini yang harus dilakukan oleh kita. Sejak dulu. Sejak manusia mengenal peradaban.

Bukan saja alatan kini jaman banjirnya informasi yang sporadis. Hoax. Hingga sulit membedakan mana hak dan bathil.

Tabayun. Cek and rechek. Ditelaah dulu. Diteliti dulu. 

Termasuk meneliti kebenaran ungkapan : enak ya bertani mah, tiis ceuli, herang panon.

Jika bertani itu suci dari noda dan dialektika emosional, mustahil dunia ini secara berbondong-bondong ditinggal petani.

Setiap negara defisit petani. Kenapa? Tidak menjanjikan. Jawab saja dengan lugas dan transfaran.

Tak usah ditutupi secara syantik dengan ragam apologi absurd.

Sawah, tanaman padi, indah sekali. Benar. Gunung, pepohonan, rumput, hebat sekali. Benar.

Namun manusia yang mengelolanya, siklus jiwa dan pikirannya fluktuatif.

Pertumpahan darah, dalam sejarah tani kita, ada juga terjadi di sawah.

Sebabnya amat sepele. Di musim kemarau, orang berebut air. Di musim penghujan, orang saling buang air.

Lalu di sisi mana profesi yang diagung-agungkan dan sangat dimuliakan ini lebihnya dari profesi yang lain?

Apakah karena kegiatan rutin berbentuk penanaman pangan? 

Atau hanya mimpi utopia yang sengaja diciptakan untuk ngeles dari kondisi ketidakberdayaan negara menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan bagi rakyatnya?

Saya mengajak, mari tinggalkan sawah, kebun atau ladang. Jika bertani sekedar apologi, bahwa ini profesi bikin ekstase hati.

Kepada Pemerintah, bubarkan Kementan, jika lembaga ini sekedar hadir untuk memenuhi ekspektasi palsu.

Atau kalau hanya sekedar melanggengkan romantika swasembada pangan jaman Uyut Soeharto. Untuk apa?

Mari berfikir waras. Bahwa hidup ini acap kali Medan tempurnya dikuasai oleh prasangka.

Bahwa, betapa enaknya jadi dosen. Benarkah? Bahwa, betapa enaknya jadi Jokowi. Betulkah? Bahwa, betapa enaknya jadi petani. Serius?

Pasiga-siga. Kenapa? Kita ngelindur. Tak sayang pada diri sendiri. Kita lebih rela menjadi orang lain. Kita lebih asyik berkhayal tentang segala sesuatu yang mustahil.

Padahal, jadi apapun kita, di mana pun kita, hiduplah sebagaimana yang Allah takdirkan.

Jangan selalu berfikir bahwa orang lain lebih hebat, lebih kaya, lebih pintar, lebih bahagia. Haha.

Siapa tahu, bahwa kitalah pemilik hidup ini. 

Jadi, tak usah lirik sini-lirik sanah. Fokuslah. Bersyukurlah.

Di sawah itu tiis, jika sendiri. Kalau ada rival sesama pemilik sawah, di situ boleh jadi terdapat peperangan.

Di kebun itu bikin otak fresh. Betul, jika Anda zero hutang. Jika hidup Anda seperti para sufi yang hanya butuh sehelai kain.

Kalau istri Anda selalu request denay, stop ke sawah. Kenapa? Gak bakalan cukup duitnya.

Kalau Anak anda ingin les ke Bimba, jangan ke kebun. Harga teh tak cukup untuk bayar guru private nya.

Namun jika kita mencintai tanah, sambangi kekasihmu kapan pun kau mau.

(20/4/2020)
_____
Warta Warga
Hasan Sidik adalah aktivis sosial-masyarakat desa, petani, pengusaha dan dikenal luas sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).