Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Si Kijing (7): Doa Takut Miskin

si-kijing-cerita-dongeng-doa-takut-miskin-kaya-purwakarta-sunda
Ilustrasi
:::Cerita Bersambung
Cerita sebelumnya:
Si Kijing (6): Studi ganja
___________

Suatu ketika, Si Kijing merasa bosan diam di rumah Adiwira, Kades Wanapoyi. Ia ingin melepas penat dan mencari angin segar. Lantas Ia memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri di sekitar lingkungan kampung terdekat.

Hingga sampailah Si Kijing di sebuah rumah, atau lebih tepatnya sebuah gubuk tua. Rumah gubuk itu dihuni oleh sepasang suami-isteri muda. 

Dari luar rumah tua itu Si Kijing mulai mengamati. Pikirannya menerawang, mengira-ngira bagaimana kondisi penghuni rumahnya. Tak perlu lama, dalam beberapa detik saja Si Kijing sudah bisa mendapatkan sebuah kesimpulannya sendiri.

Dalam hatinya Si Kijing bergumam, "Tampaknya penghuni rumah ini dalam keadaan miskin, mereka pasti membutuhkan pencerahan dari ku,".

Jiwa kepahlawanannya tergugah, Si Kijing tak sabar ingin segera bertemu dengan penghuni rumah tersebut. Ia akan menggali apa kesulitan hidupnya, kemudian memberikan pencerahan yang akan merubah kehidupan si penguhuni rumah tersebut menjadi lebih baik dan sejahtera.

Tanpa banyak menyiakan waktu Si Kijing segera menghampiri pintu rumah tersebut.

“Assalamu’alaikum...Assalamu'alaikum...”, Si Kijing mengucapkan salam dari depan pintu, dengan wajah tidak sabar tentunya. Seakan-akan ada hal penting yang harus segera disampaikan kepada penghuni rumah tersebut.

“Wa alaikum salaaaam....”, sahut Pamela, sambil menghampiri pintu. Pamela ini adalah istri dari penghuni rumah.

Pamela agak terkejut, setelah sedikit membuka pintu ternyata ia tidak mengenali orang yang ada di hadapannya. Pamela pun tidak membuka pintu dengan lebar, hanya cukup untuk menampakan wajah saja.

Dalam pikir Pamela, "Siapa orang ini? Jangan-jangan ia adalah orang jahat?".

Kadung sudah membuka pintu meskipun sedikit, Pamela akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada tamu tak diundang itu.

“Punten, bade ka saha nya?”, tanya Pamela, dengan penuh kewaspadaan. 

“Euuuh....Euuuuuh.... abdi Kijing. Euuuuh.....dupi ieu bumi saha?”, Si Kijing malah balik bertanya. Ia gelagapan dan didera kepanikan secara tiba-tiba.

Si Kijing tersadar, bahwa ia memang sama sekali tidak kenal dengan siapa penghuni rumah yang ia datangi ini.

Si Kijing bingung sendiri. Sadar bahwa ia tidak punya keperluan apa pun, akhirnya terpaksa Si Kijing balik bertanya.

“Ieu bumi Armando, caroge abdi....euuuuh...dupi kaperyogian na naonnya?”, agak curiga, Pamela kembali bertanya.

“Kaaaaang....aya tamu!”, belum Si Kijing menjawab, Pamela berteriak panggil suaminya.

Si Kijing merasa terjebak sendiri, ingin rasanya pergi atau lari. Tapi takut disangka pencuri atau orang jahat.

Armando, tuan rumah tiba di pintu. Tanpa banyak bertanya, Armando persilakan Si Kijing untuk masuk dan menyuruh isterinya untuk membuatkan minum.

Tanpa kenalan, Armando dan Si Kijing tenggelam dalam obrolan basa-basi yang hangat dan penuh empati. Jam berganti.

Obrolan hangat dalam bahasa yang sangat sopan, tentang ketimpangan sosial, jam berganti.

Obrolan hangat dalam bahasa akrab, saling bercerita pengalaman pahit kehidupan masing-masing, jam berganti.

Obrolan mulai panas dalam bahasa kasar mulai keluar, mereka berdua bagai kawan akrab yang sebangku sejak SD.

Makin panas lagi, obrolan tentang betapa gobloknya pemerintah, sehingga membuat mereka berdua hidup miskin dan menderita. Hari telah malam.

Pamela mulai tak sabar, berkali-kali kode pada suaminya tidak juga mendapat respon.

Tamu yang baru dijumpainya, seakan tidak akan pernah pulang untuk selamanya.

Suara-suara aneh mulai dibikin dari dalam dapur, Pamela mencuci piring dengan sangat tidak hati-hati.

Sengaja, agar Suami dan Tamu sadar bahwa saat itu hari sudah tengah malam.

“Aduh kang, tos wengi ningan. Hapunten kaganggu, abdi permios!”, ujar Si Kijing memotong pembicaraan.

Si Kijing mulai menyadari, di dapur piring-piring, panci, gelas, sudah beradu sedemikian kencang dan membuatnya tak nyaman. Ia pamit.

“Yeeeeh....enggal-enggal teuing! Atos weh kulem di dieu! Hawartos tos wengi kieu”, pungkas Armando basa-basi.

Sebelum beranjak, Si Kijing meminta sebatang lagi rokok untuk menemaninya di perjalanan pulang ke rumah Pak Kades.

Sementara itu, Armando memberanikan diri meminta amalan, ia rupanya tertarik tentang do’a untuk kaya yang telah Si Kijing ceritakan panjang-lebar.

Si Kijing menuliskannya dalam sehelai kertas, dengan aksara latin. Agar do’a bisa dibaca dan dihafalkan oleh Armando.

Dengan telaten, Si Kijing menjelaskan tata cara mendawamkan do’a tersebut.

Armando sangat berterima kasih kepada Si Kijing, ia berjanji tidak akan lagi berdo’a sembarangan.

Ia bertobat. Ia berjanji untuk semangat berzakat, berjanji untuk bersemangat naik haji.

Armando menyesal tidak mau mengaji waktu kecil, ia telah membangkang kepada kedua orang tuanya.

Akibatnya ia meraba-raba dalam beragama, ia gunakan akal tapi tidak pernah merasa puas dan tidak pernah pula merasa yakin.

Sekali waktu, saat baru menikahi Pamela, Armando pernah sekali ikuti ceramah agama mingguan, kala itu Ustad membahas Rukun Islam.

Didengarnya kata Pa Ustad, jika harta telah mencapai sekian (nisab), maka wajib mengeluarkan zakat sekian.

Setelah itu ia tak tertarik lagi datang untuk mendengar ceramah Ustad, lantas berajin-rajin berdo’a agar tidak kaya, sehingga tidak terkena kewajiban mengeluarkan zakat.

Karena mendapat pencerahan, Armando bertanya beberapa hal lagi kepada Si Kijing.

Masih mengenai agama, Ia yakin telah berprasangka tidak benar kepada Ustad-ustad di kampungnya.

Si Kijing memungkas, lalu menjelaskan bahwa zaman sekarang memang ada Ustad-ustad kurang ajar.

Kemudian menjabarkan fenomena Ustad palsu yang beberapa tahun ke belakang sempat merebak.

Terdengar di belakang rumah, suara tali timba berderit-derit. Pamela shalat shubuh.

Beberapa saat kemudian membuka gorden putih berkain carang dan bolong-bolong.

Beberapa jam kemudian, Pamela membawa dua gelas kopi dan pisang goreng.

Setelah kopi habis diminum. Pisang goreng ludes dimakan.

Si Kijing kembali pamit untuk kesekian kalinya. Walaupun kepalanya pusing bukan main, tapi hatinya puas.

Si Kijing merasa telah memberikan pencerahan kepada seseorang yang memang perlu diberi pemahaman tentang kehidupan yang benar.

Ia melewati pintu, berjalan pulang penuh kebanggaan dalam hatinya.

“Saha eta teh kang? Jalema teh namu teu kira-kira, ti kamari burit nepi ka beurang kieu. Nya teu solat-solat....”, omel Pamela sesaat setelah pintu rumahnya ditutup.

Kantuk Armando terlalu hebat, bulu matanya sudah teranyam rapat, walapun badannya masih berdiri.

Ia tak mampu mendengar, apalagi menjawab pertanyaan isterinya.

Armando menjatuhkan diri di ranjang, dengan posisi badan diagonal, menyilang ranjang.

Ngorok sekencang-kencangnya...menggema, menggetarkan seisi rumah panggungnya.

***

Si Kijing merasa harus belusukan lagi, ia berencana setelah sampai di rumah Pak Kades ia akan segera makan, lalu tidur dulu sampai ashar.

Setelah bangun, makan lagi, lalu kembali blusukan mencari keluarga yang memerlukan pencerahan darinya.

Sementara Si Kijing tidur pulas dan Pamela sibuk mencari ranting di kebun Pak Kades, untuk kayu bakar.

Warga sekampung dihebohkan, sebuah rumah gubuk ludes dilalap api.

Seorang laki-laki tewas terpanggang, saat tidur lelap di siang bolong.

:::bersambung.....
_______