Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Si Kijing (1): Misteri gadis di belantara sukma


 

:::cerita bersambung

Badannya sakit tak terkira, kantuk telah benar-benar menguasai sepenuhnya. Si Kijing tak peduli di rumah siapa ia berteduh dan membaringkan tubuh. Ingin rasanya ia berterima kasih, tapi baru bisa diucapkan hanya sebatas dalam hatinya saja.

Ujung jari-jari tangannya keriput, entah berapa jam Si Kijing berkendara di dalam hutan belantara. Dalam situasi hujan yang sangat lebat seperti itu, jalanan tanah di hutan yang tak beraspal menjadi sangat licin luar biasa.

Sepeda motornya berkali-kali terjungkal. Berkali-kali pula Si Kijing bangkit dan bangkit lagi. Berkali-kali pula terlintas dalam benaknya, jika ia tak beruntung, kelelahan berkendara di hutan, pingsan lalu dimakan harimau atau binatang buas penghuni hutan lainnya.

Bisa dibayangkan, dalam kondisi seperti itu, lelah dan lama kedinginan, hipotermia jadi ancaman yang sangat membahayakan. Bahkan hipotalamus di otaknya mengirimkan kode sehingga tubuhnya menggigil hebat.

Mungkin beberapa jam lagi jantungnya akan gagal berfungsi. Atau mungkin sistem pernapasannya akan segera terganggu, kemudian akhirnya mati kedinginan. Apakah Si Kijing akan mati dengan cara seperti para penumpang kapal Titanic yang nahas?

:::ajaib! Tubuhnya menghangat

Tiba-tiba tubuhnya terasa hangat, hatinya pun demikian. Rasanya ada seorang perempuan yang memeluknya dari belakang, Si Kijing diam saja. Kepalanya terlalu sakit untuk berpikir.

Hanya saja, entah sejak berapa lama, ia lupa bagaimana rasanya dicintai. Si Kijing kehilangan arah hidup, tak tahu lagi apa yang ia suka dan apa sebenarnya yang ia ingini dalam hidup ini. Segalanya hampa...

Si Kijing rupanya masih beruntung, seseorang telah menolongnya. Jika saja tidak, tubuhnya akan mati terbujur kaku di dalam jurang, lalu jasadnya sirna tak bisa ditemukan.


Beberapa saat sebelumnya, Si Kijing tergeletak tak berdaya di bawah lebatnya guyuran air hujan. Yang mungkin terpikir oleh Si Kijing dalam situasi tersebut hanyalah pasrah jika pun harus mati saat itu juga.

:::gadis telaten

Dengan penuh rasa sakit di sekujur tubuh, Si Kijing hendak ke kamar mandi untuk buang air kecil.

"Aaaargh....!!!" teriak Si Kijing dikejutkan oleh rasa sakit di lengan kirinya.

"Ulah gugah Kang...!!" seketika seorang gadis berteriak dari arah dapur.

Kemudian menghambur meninggalkan hawu (tungku) dan mengampiri Si Kijing yang tengah mengerang kesakitan.

"Akang, ulah waka gugah! ku Nyai tos dibalur. Siga na panangan Akang misalah. Tadi wengi akang tigebrus ka na jurang," ujar Si Gadis, sambil membetulkan posisi tidur Si Kijing.

Dengan telaten, oleh gadis itu digeserkannya bantal kapuk agar pas dengan posisi kepala Si Kijing. Si Kijing hanya diam seribu bahasa, sudut matanya mulai basah dan melinangkan air mata. Dalam hati Si Kijing bergumam, tak pernah ia mendapatkan perhatian yang seperti ini sebelumnya. Pun saat dulu ia sakit parah, istrinya hanya sibuk sendiri.

:::lubang papan

Kemudian jari telunjuk Si Gadis menunjuk ke arah sebuah lubang di lantai papan. Lubang sebesar bola ping-pong, berjarak hanya beberapa jengkal dari tempat Si Kijing terbaring.

Si Kijing paham, ia hanya perlu sedikit bergeser, telungkup dan memasukan manuknya ke lubang papan tersebut. Lalu pipis, sampai terasa lega, plong!

"Rumah panggung tua yang diisi oleh seorang gadis yang hidup sebatang kara, hingga papan kayunya pun telah berlubang," begitu pikir Si Kijing mengenai kondisi rumah tersebut.

:::si kijing penasaran

"Punten 'Neng, ieu tèh di mana?" tanya Si Kijing dengan sopan, sambil meringis kesakitan.

Tapi 'mata lelaki'-nya masih sempat terpicing untuk mengintip kecantikan wajah dan tubuh perempuan di depannya itu.

"Akang, ieu tèh di leuweung sukma. Atos bobo deui wèh! Misalah na bilih robih deui," jawab Si Gadis, singkat.

"Ari 'nèng tèh saha? Sareng saha nu nyandak abdi kadieu?" lanjut Si Kijing malah lancang bertanya, saking penasaran.

Bagaimana pun rasa penasaran tak sanggup ia bendung lagi. Si Kijing pikir, bapak atau mungkin suami perempuan itu telah menolong dan membawanya ke rumah panggung ini.

:::kenalan

"Nami abdi Arsawati kang. Abdi nyalira nu nyènyèrèd akang ti jurang tadi wengi," jawab Si Gadis sambil pamit kembali ke tungku.

Setelah sebelumnya Nyai Arsawati menjelaskan bahwa ia tinggal sendiri di tengah hutan belantara ini. Tidak ada orang lain, selain dirinya di hutan. Si Kijing tertegun bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin seorang gadis tinggal sendiri dalam hutan belantara seperti ini. Sepertinya tidak mungkin!

Tiba-tiba mulutnya terasa asam, Si Kijing ingin merokok.

"Mun bener eta awewe ngomong, bahaya dekah! Berarti euweuh warung di sekitar imah ieu?" hati Si Kijing mulai bergumam kesal.

Tangannya mencari-cari baju yang ia kenakan terakhir kali. Berharap ada rokok di saku yang masih tertinggal.

:::bau amis ikan mas

Banyak hal ingin ia tanyakan. Tapi sejenak ia tahan. Obrolan Si Kijing dengan benaknya sendiri langsung terhenti, saat bau amis ikan mas tiba-tiba tercium dengan kuat. Ia tengok keluar rumah, tidak ada empang. Mungkin saja Si Gadis tadi sedang memasak ikan mas. Hatinya tak henti-henti bicara sendiri.

Si Kijing pikir, nama gadis itu terdengar aneh. Baru saja ia dengar, lalu seketika ia lupa lagi. Lebih aneh lagi cara berpakaiannya yang lebih mirip dengan cara berpakaian wanita dalam cerita-cerita dongeng di abad lampau. Tapi cara berpakaian seperti itu sangat seksi menurutnya, karena hanya berbalut kain lalu dadanya dibiarkan telanjang. Dan otak 'pria dewasa' Si Kijing mulai berandai-andai tak karuan.

:::kalimat bijak

Pikiran Si Kijing mulai menerawang kembali, jauh ke masa bertahun-tahun ke belakang. Suatu ketika, saat terperosok ke dalam palung kekalutan, lantas ia menemukan sebuah kalimat bijaksana yang berbunyi:
Mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain adalah jalan menuju kebahagiaan. 
Lalu seketika setelah merenungi kalimat tersebut, Si Kijing merasa seperti menemukan inspirasi berharga. Sejak saat itulah Si Kijing mulai banyak berkorban untuk kepentingan orang lain, dengan segala apa pun yang ia miliki. Waktu berlalu, orang-orang pun menjadi terbiasa untuk mengorbankan Si Kijing dalam banyak hal.

Hingga akhirnya Si Kijing mendapati dirinya tak juga mendapatkan kebahagiaan tersebut. Lalu kepada siapa ia harus menagih? Ia lupa siapa guru yang mengajarkan kalimat bijak tersebut. Dari waktu ke waktu Si Kijing semakin terpuruk dan hatinya mulai lelah, selelah-lelahnya.

:::berkelana seperti di film persilatan

Tahun demi tahun berselang, hingga akhirnya Si Kijing memutuskan untuk berkelana untuk beberapa hari di sebuah hutan belantara. Maksudnya berkelana ke hutan adalah sebagaimana yang ia tahu dari film-film persilatan di layar tancap yang suka ia tonton saat remaja dulu.

Dengan tujuan untuk mendinginkan jiwa, meresapi alam dan menemukan jati dirinya kembali. Mungkin saja di hutan sana, ia akan menemukan sebuah gubuk yang didalamnya tinggal seorang kakek tua sakti-bijaksana, berjenggot putih dan juga berjubah putih.

Lalu mengajarkannya sebuah ilmu dan akhirnya ia pun menjadi orang yang sakti mandraguna. Atau paling tidak ia akan mendapatkan ilmu kebijaksanaan untuk mengarungi hidup ini.

Si Kijing telah muak dengan tagihan-tagihan, ajakan-ajakan bisnis yang misterius tanpa realisasi. Ia juga sudah muak dengan omelan dan tuntutan istri, muak dengan kehidupan yang sepertinya tidak menyediakan ruang untuknya merasakan kebahagiaan.

Si Kijing menyesali hidupnya yang tidak berjalan dengan baik, tidak seperti jalan cerita di sinetron-sinetron picisan. Yang mana, masa sulit hanya muncul di episode-episode awal kehidupan, kemudian segalanya berubah dengan ajaib dan penuh keberuntungan di akhir episode.

:::pergi berkelana

Dengan sepeda motor kreditan yang belum dibayar selama tiga bulan lebih, ia pun bergegas pergi. Lolos dari pantauan debt kolektor yang telah berminggu-minggu mengintainya. Menuju sebuah hutan belantara, berbukit, berjurang yang konon sangat angker dan berbahaya. Hutan yang penuh misteri, yang tak pernah seorang pun berani merekomendasikan hutan tersebut untuk dikunjungi.

Sebuah hutan nun jauh berpuluh kilometer dari pemukiman, tanpa akses jalan yang layak untuk didatangi atau hanya sekadar dilewati. Jalanan rusak berbatu hanya mengantarnya sampai tepi belantara, selanjutnya jalan tanah setapak licin berlumpur harus ia terabas.

Sebuah hutan yang konon memiliki area ghaib, dimana siapa pun orang yang beruntung menemukannya akan lupa pada kehidupan sebelumnya. Lalu memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya di dalam hutan itu. Tempat yang sangat damai, dengan segala kecukupan dari apa pun yang diinginkan manusia. Orang-orang menggambarkannya seperti surga di kitab-kitab.

Ilustrasi Hutan Sukma. (foto: Curug Tilu, Sukasari)

:::wedang di batok kepala

Lamunannya akan masa-masa ke belakang sirna sekejap, saat Nyai Arsawati datang membawa wedang di batok kepala. Saat itu fokus Si Kijing hanya dua; Pertama fokus mata, Fokus matanya tertuju ke wedang di cangkir batok kepala, yang sepertinya harus segera ia minum.

Kedua adalah fokus kepala, kepala Si Kijing fokus berpikir, bagaimana caranya agar segera mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi tubuh gadis sebatang kara yang kini serumah dengannya itu. Si Kijing memperhatikan dengan tajam dan detail seluruh bagian tubuh Nyai Arsawati. Mulai ujung kaki, hingga ujung kepala.

Kulit Nyai Arsawati yang coklat gelap, lekuk tubuhnya yang sintal, manis raut wajahnya yang aaah.....entah apa lagi yang ada di kepala Si Kijing, emosi binal kejantanannya menggelinjang ke sana ke mari tak tentu arah! Singkat cerita, Si Kijing minum wedang di batok kepala. Rasanya sangat pahit, hampir saja ia muntah, ulu hatinya sakit menahan mual yang sangat. Rupanya yang ia minum bukan wedang biasa.

:::siuman

Siuman dari pingsan, satu hari berlalu tanpa ia sadari. Otaknya seperti bergerak berlarian tak tentu arah, ia mulai ingat HP, ingat sepeda motor, ingat anak, ingat facebook, ingat isteri, ingat ibunya, ingat guru-gurunya, ingat cinta pertamanya.

Ingat bahwa bukanlah gurunya yang mengatakan bahwa 'Jalan kebahagiaan adalah dengan cara mengorbankan diri untuk orang lain', melainkan adalah sebuah tulisan di buku Teka-Teki Silang (TTS) milik seorang pegawai dinas yang ia temui di sebuah instansi pemerintah.

Seorang pemilik warung memberinya minum teh manis hangat, ia heran rupanya ia telah berada di tengah perkampungan. Ia dapat melihat dirinya sendiri dalam pikiran, sehari sebelumnya ia minum wedang di batok kepala manusia. Lalu tak sadarkan diri.

Orang-orang mulai berkerumun, seorang kakek dipanggil. Kerumunan terbelah memberi jalan, kakek tersebut membacakan mantera-mantera. Kemudian menyuruh Si Kijing memeriksa kemaluannya sendiri, saat ditengok ke dalam calana ia melihat kemaluannya bengkak dan memerah.

:::bersambung ...................

Klik menuju cerita selanjutnya:
Si Kijing (2): Terobsesi gadis tak berkutang