Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Si Kijing (2): Terobsesi perempuan tak berkutang


 

:::cerita bersambung

Lanjutan dari:
Si Kijing (1). Misteri Gadis di Belantara Sukma


Si Kijing dibawa ke rumah Adiwira, Kepala Desa Wanapoyi. Dari mulut ke mulut, cerita segera menyebar luas. Jadi buah bibir seisi kampung, kemudian se-Desa Wanapoyi dan sekitarnya.

Di desa ini, orang-orang masih saling bertemu dan saling bicara, maka info tersebut menyebar dengan kecepatan melebihi viralnya hoax-hoax saat pilpres kemarin.

Tanpa harus pakai twitter, yang kemudian disalurkan ke medsos-medsos lain. Ini tanpa medsos, berita tentang penemuan ‘orang asing’ yang linglung jadi headline di warung-warung yang ada di Desa Wanapoyi.

:::sesepuh lembur datang menengok

Sesepuh kampung malam harinya datang, melihat kondisi Si Kijing. Situasi mulai tenang. Tapi belum jelas, belum apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dalam hati, Si Kijing mulai bertanya-tanya, apa saja yang terjadi pada dirinya dalam beberapa hari ini? Terlalu banyak hal misterius yang ingin ia diungkap, begitu pikir Si Kijing.

Bertemu sesepuh kampung yang bernama Abah Dumadi adalah kesempatan untuk bertanya banyak hal tentang misteri hutan Sukma.

Si Kijing sebetulnya merasa senang telah kembali ke pemukiman penduduk, dengan begitu ia bisa ke warung membeli rokok.

Tetapi ingatan tentang perempuan di rumah panggung yang ada di hutan Sukma membuatnya penasaran setengah mati.

Si Kijing tidak ingat nama perempuan itu, tetapi samar-samar bayangan wajahnya selalu mengintai. 

Apalagi cara berpakaiannya yang tidak biasa, dengan buah dadanya yang terbuka. 

Tanpa kutang. Ia yakin, perempuan itu adalah suku pedalaman yang terasing, atau mungkin mengisolasi dirinya sendiri.

:::tanya jawab

“Acep ti mana?”, tanya Abah Dumadi, sesepuh kampung membuka pembicaraan.

“Abdi ti Leuweung Sukma”, jawab Si Kijing. Ragu-ragu apakah jawabannya sesuai dengan maksud pertanyaan.

“Sanes, maksad abah, ari acep kawit na ti daerah mana? Gaduh pamaksadan naon sumping ka leuweung sukma?”, Abah Dumadi mengulang dan menambah pertanyaannya. Kemudian merogoh saku.

Mata Si Kijing mulai terfokus, meyakini bahwa si abah akan mengeluarkan rokok dari sakunya. 

Uangnya di dalam jok motor hilang bersama motornya, tidak bisa membeli rokok meski ada warung tak jauh dari rumah Kepala Desa. 

Lidahnya bergerak-gerak, tak sabar untuk menghisap nikmatnya rokok. 

Rokok apa pun itu, yang penting ngebul. Pikirannya terfokus terus pada rokok.

Abah Dumadi membuka plastik bako, mengeluarkan daun kawung (daun aren kering) di plastik yang disatukan dengan bako (tembakau). Si Kijing mulai menelan ludah. 

Abah Mulai melinting. Si Kijing berfikir keras, bagaimana cara yang sopan untuk minta daun kawung dan bako. Ia tak hapal tatakrama di kampung tersebut.

“Nyesep cep!”, Abah Dumadi menawari Si Kijing, sambil membakar ujung daun kawung.

“Muhun ngaraosan bah, nuhun”, Si Kijing bergegas ikut melinting dan merokok. Matanya merem-melek menikmati rokok daun kawung.

Tiap hisapan, kenikmatan rokok langsung memijat-mijat ubun-ubun kepalanya. Ibarat ganja, Si Kijing tengah fly dengan daun kawungnya. 

Tiap tiupan asap rokok, serasa berkurang dan terus berkurang rasa lelahnya. 
 
Abah Dumadi menatap kepada Adiwira, seolah mengatakan ‘sepertinya jauh dari harapan’. 

Dari beberapa pertanyaan, hanya satu-dua yang dijawab oleh Si Kijing. Abah Dumadi hilang harapan, menganggap orang asing (Si Kijing) ini telah ‘kabur sukma’ sehingga mengalami hilang ingatan. 

Mungkin jiwa lembutnya masih ‘tertinggal’ sebagian di hutan sukma.
 
Adiwira memanggil memanggil Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) Desa Wanapoyi. Menginstruksikan agar dibentuk tim penanganan ‘orang asing’ ini. 

Adiwira berterimakasih kepada Abah Dumadi, lalu memberi amplop, sebagai pengganti bako yang dihabiskan oleh Si Kijing. Juga sebagai pengganti korek, yang tanpa sengaja masuk saku Si Kijing.

“Wios teu kedah! Sagala teuing Pa Kades”, kata Abah Dumadi sambil memasukan amplop dari Kades ke saku celananya.

Abah Dumadi agak sedikit terkejut, ingat saku celananya bolong belum dijahit. Kemudian beranjak dari hadapan Kades, dengan kaki agak diseret-seret sebelah, takut amplopnya jatuh. 

Sebelum beranjak pamit Abah Dumadi berpesan agar tidak meninggalkan Si Kijing sendirian, satu atau dua orang harus berjaga. Ia Khawatir, Si Kijing akan kabur.

Biasanya orang yang ‘Kabur sukma’ akan mendatangi tempat dimana sukmanya tertinggal, orang tersebut bisa pergi begitu saja tanpa kesadaran penuh. Berjalan kaki seperti tanpa arah, seperti tidak punya tujuan.

:::Ingin Kembali ke Hutan Sukma

Pikirannya kembali ke gubuk di hutan sukma. Si Kijing mengira-ngira, jika di hutan itu ada banyak perempuan lain. Dengan Pakaian yang sama, tak berkutang. 

Ada sensasi tersendiri, adrenaline-nya bangkit. Ia tertantang, benar-benar tertantang ingin menemukannya.

Bukan tentang pornoaksi, tapi tentang temuan penting. Ini akan jadi isu paling penting di dunia internasional tentang peradaban dan kebudayaan yang orsinil, tak tersentuh ‘dunia luar’. Begitu gemercik hatinya menguatkan tekad.

:::bersambung..... 

Cerita selanjutnya:
Si Kijing (3). Tidak revolusi di dunia, tanpa keterlibatan perempuan