Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

kajian Islam Nusantara, bersama Ustad Herman, S.Ag.,

kajian-arti-maksud-makna-islam-nusantara-penelitian-herman-makalah-disertasi-skripsi
Herman, S.Ag.,

Warta Warga ditulis oleh Herman, S.Ag., Mahasiswa pasca sarjana Unusia Jakarta. Sekretaris MWC Nahdlatul Ulama Kecamatan Pasawahan, Purwakarta.

Islam sebagai agama, merupakan kumpulan dari tata nilai yang berfungsi sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia dalam rangka menjalani kehidupan didunia yang fana ini. 


Kenapa manusia memerlukan agama?, karena beragama merupakan suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. 

Dengan beragama, manusia dibimbing untuk mengenal Tuhannya, mengenal diri dan lingkungannya serta mengetahui bagaimana harus bersikap terhadap Tuhan, diri dan lingkungannya.

A. LATAR BELAKANG

Islam disyari’atkan hakikatnya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, baik bagi dunia maupun akhiratnya. 

Betapa tidak, karena dengan Islam manusia diajak untuk mengenal Tuhan yang sejati dengan segala hak dan kewajibannya, mengenal diri dengan hak dan kewajibannya.

Kemudian mengenal hakikat hidup dengan segala ujiannya, mengenal lingkungan dengan hak dan kewajibannya.

Islam sebagai agama langit merupakan pedoman yang paripurna bagi manusia dalam rangka melaksanakan amanah Allah SWT sebagai khalifah[1] di muka bumi ini. 

Islam merupakan karunia Allah SWT yang tak ternilai sebagai landasan hidup dan kehidupan manusia dimanapun ia berada dan Islam hadir sejatinya adalah sebagai Rahmat bagi semesta.

Oleh karenanya, hubungan Islam dan Nusantara yang telah berjalan harmonis di negeri ini perlu dikembangkan untuk peradaban Indonesia dan dunia. 

Mengingat akhir-akhir ini terjadi fenomena yang seakan-akan Islam sudah tidak mampu lagi menghadirkan kedamaian di dunia ini dengan ditandai munculnya golongan Islam Radikal.


B. RUMUSAN MASALAH
  • Apakah Islam dan Nusantara itu?
  • Apakah Islam Nusantara itu apabila ditinjau melalui pendekatan, historis dan sosiologis antropologis ?
  • Mencakup apa sajakah Islam Nusantara itu?

C. TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan:
  • Menjelaskan Pengertian Islam dan Nusantara?
  • Menjelaskan Islam Nusantara berdasarkan tinjauan, historis, antropologis dan sosiologis
  • Menjelaskan hal-hal yang tercakup dalam istilah Islam Nusantara

Manfaat :
  • Mengetahui Pengertian Islam dan Nusantara
  • Mengetahui Islam Nusantara berdasarkan tinjauan antropologis, historis dan sosiologis
  • Mengetahui hal-hal yang tercakup dalam istilah Islam Nusantara

ISLAM NUSANTARA

1. Pengertian Islam
Secara filologis, Islam Nusantara terdiri dari dua kata, yakni kata Islam dan kata Nusantara yang masing-masing memiliki makna. 

Sebelum menjelaskan makna keduanya sebagai satu kesatuan kata yang menjadi sebuah istilah dengan pemaknaan yang baru, lebih dahulu akan dijelaskan makna Islam itu sendiri kemudian makna nusantara.

Adapun makna Islam menurut bahasa itu diambil dari kata الإستسلام والإنقياد yang dapat diartikan sebagai kepasrahan dan ketundukan. 

Ada pun menurut istilah adalah أعمال الجوارح اى إمتـثال المأمورات واجتناب المنهيّات yang berarti perbuatan anggota tubuh, yakni melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan[2].

Dengan demikian, kata Islam itu sendiri berarti bentuk kepasrahan dari seorang hamba dengan kerelaan melaksanakan segala hal yang menjadi kewajiban sebagai konsekuensi sikap keberagamaan disertai kesanggupan menghindari bahkan meninggalkan segala hal yang menjadi larangan dalam agama.

Namun yang menjadi fokus dalam makalah ini adalah Islam sebagai agama, bukan sebagai ajaran. 

Sehingga yang di maksud dengan Islam disini adalah Sebuah agama langit yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia. 

Islam sebagai agama, sejatinya hadir untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus demi mencapai kenikmatan abadi di akhirat.

Kenapa demikian, karena sejatinya kehidupan dunia ini bersifat sementara dan terbatas. 

Disebut sementara, karena setelah berakhirnya kehidupan dunia ini, maka kelak pasti akan datang kehidupan kedua di alam akhirat dan itu adalah sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. 

Disebut terbatas, karena semua yang ada di semesta raya ini ada dalam keterbatasannya baik dalam waktu atau tempat sesuai dengan ajal yang telah ditentukan oleh Allah SWT melalui qodlo-qadar-Nya.

2. Pengertian Nusantara
Nusantara adalah sebuah istilah untuk menggambarkan sebuah gugusan pulau yang terbentang antara Sumatera sampai Papua yang menjadi sebagian dari Negara Indonesia. 

Kata nusantara pertama kali tercatat dalam literatur Bahasa Jawa kisaran abad XII sampai XVI dalam konsep kenegaraan Jawa Majapahit. 

Dalam konsep Kenegaraan Jawa Majapahit, nusantara itu terdiri dari kata nusa yang berarti pulau dan antara yang berarti luar. 

Dengan demikian, kata nusantara berarti pulau di luar kerajaan majapahit[3]. 

Dalam kitab Negarakertagama bahwa nusantara itu meliputi sebagian wilayah Indonesia modern, yakni Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Maluku dan Papua, ditambah Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina bagian selatan.[4]

Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, nusantara adalah sebuah istilah untuk menggambarkan sebuah gugusan pulau yang terbentang antara Sumatera sampai Papua yang menjadi sebagian dari Negara Indonesia[5].

3. Pengertian Islam Nusantara
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya tentang pengertian Islam dan Nusantara, maka selanjutnya kita akan membahas tentang Islam Nusantara yang telah berkembang menjadi satu istilah bagi suatu corak keberagamaan di Negara kita.

Kata Islam Nusantara secara resmi menjadi tema besar dalam perhelatan muktamar NU yang ke-33 yang dilaksanakan di Jombang pada tahun 2015. 

Tema ini menjadi bukti kepedulian para ulama Nahdlatul Ulama dalam rangka mengangkat dan menggali kekhasan Islam di nusantara ini.

Pada sebuah dialog interaktif yang diadakan oleh sebuah harian nasional, ketua PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj MA menjelaskan bahwa Islam Nusantara yang dijadikan tema besar dalam muktamar NU ke-33 ini bukanlah sebutan bagi agama baru, atau keyakinan baru. 

Islam Nusantara adalah ikhtiar untuk memperkuat tatacara beragama Islam ala Indonesia yang tentunya akan berbeda dengan kondisi di luar Negara kita. 

Islam Nusantara adalah Islam yang datang dan melebur dengan budaya dan tradisi penduduk Indonesia[6].

Sebagai konsep baru, maka istilah Islam Nusantara perlu penjelasan yang mendalam demi meminimalisir kesalahan-pahaman di kalangan masyarakat, terutama umat Islam Indonesia. 

Oleh karenanya, para ulama dan para cendekiawan NU mencoba merumuskan konsep Islam Nusantara ini.

Di bawah ini adalah pengertian Islam Nusantara dari para Ulama dan Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) :
  1. Muhammad Takdir Ilahi[7], memandang bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang telah bersentuhan langsung dengan budaya lokal yang dengan sendirinya akan memunculkan varian keberagamaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya dan ini menambah khazanah keislaman di negeri ini[8].
  2. KH. Afifudin Muhajir[9], Islam Nusantara adalah Pemahaman, pengamalan dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at dan ‘urf, budaya dan realita di bumi nusantara[10].
  3. Prof. Dr. M. Isom Yusqi, MA[11], Islam Nusantara adalah gagasan progresif yang berikhtiar untuk mendialogkan antara intisari ajaran Islam ala Aswaja dengan budaya dan peradaban nusantara yang tidak saling bertentangan bahkan saling menyempurnakan. Sama sekali tidak bermaksud mereduksi ajaran Islam, mempertentangkan Islam Arab dan Islam Nusantara, apalagi anti budaya arab, rasis dan lain sebagainya[12].
  4. Chandra Malik[13], menjelaskan bahwa Islam adalah ajaran samawi/langit dan Nusantara adalah tradisi bumi. Oleh karenanya, Islam Nusantara adalah ajaran langit yang membumi. Islam Nusantara bukan soal menilai buruk dan salah pada yang lain, tapi lebih tentang dimana bumi di pijak, disana langit di jungjung[14].

Dari teori-teori di atas, maka dapat dipahami bahwa wacana tentang Islam Nusantara ini adalah sebuah ikhtiar untuk dapat memahami dan menjalankan ajaran Islam sesuai dengan budaya yang telah mengakar di bumi nusantara ini selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. 

Islam Nusantara hadir bukan untuk membenturkan agama berdasarkan ras, suku dan bangsa. 

Islam Nusantara bertujuan mewujudkan Islam yang toleran dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa yang berdaulat dengan semangat saling menghormati dan saling menghargai agama, ras dan suku bangsa yang ada di bumi pertiwi Indonesia.

Dalam rangka peneguhan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia, maka sangatlah penting untuk mengetahui cakupan dan pendekatan dalam penelitian Islam Nusantara itu sendiri. 

Hal ini dirasa penting, dalam rangka memberikan pemahaman yang sempurna hingga dapat di terima dan dipahami oleh seluruh komponen anak bangsa demi terwujudnya keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Lebih jauh lagi, konsep ini dapat dikembangkan di Negara-negara lain demi terwujudnya perdamaian dunia. 

Oleh karenanya, dirasa penting untuk melakukan penelitian dengan mengetahui cakupan dan pendekatan dalam rangka penelitian Islam Nusantara. 

Adapun Cakupan dari Penelitian Islam Nusantara adalah:

1. Sumber Pokok Ajaran Islam
Adapun sumber pokok dari ajaran Islam menurut Ahlussunah wal Jama’ah an-Nahdliyyah adalah al-Qur’an[15] dan Hadits[16], Ijma[17] dan Qiyas[18]. 

Sumber-sumber pokok ajaran Islam ini perlu dikaji, karena semua hal yang berhubungan dengan hukum yang berlaku dalam Islam adalah bersumber dari padanya. 

Sehingga dengan sendirinya, dalam menetapkan suatu hukum tidak boleh lepas dari sumber ajaran tadi. 

2. Tokoh penyebar agama Islam di Nusantara
Sebagaimana kita ketahui bahwa agama tertua yang berkembang di nusantara ini adalah hindu-budha, maka dengan demikian Islam seakan-akan menjadi agama baru yang datang kemudian. 

Dan hari ini Islam menjadi agama dengan pemeluknya yang paling banyak di negeri ini. 

Hal ini tentunya berkat kecerdasan para Muballigh dalam menjelaskan hakikat Islam lengkap dengan ajaran dan keutamaannya. 

Sehingga sedikit demi sedikit Islam dapat diterima oleh masyarakat yang telah beragama sebelumnya.

Kajian akan tokoh para penyebar Islam di nusantara ini dipandang perlu sebagai bahan acuan dalam penelitian untuk mengetahui cara dan metode dakwah yang digunakan sehingga Islam bisa diterima oleh semua kalangan, dari rakyat jelata hingga para priyainya.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menemukan pola yang tepat dalam berdakwah bagi masyarakat modern sekarang ini dengan tidak meninggalkan tradisi lama yang baik atau dalam istilah usul fiqih disebut dengan “mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. 

3. Kajian literasi 
Kajian ini bertujuan meneliti hasil karya para ulama nusantara, baik berbentuk kitab atau esai, berbahasa arab atau pun berbahasa lokal. 

Hal ini menjadi penting untuk mengetahui orisinalitas dari pemikiran mereka dalam rangka membumikan Islam.

Sebagaimana kita ketahui bahwa tradisi menulis ini sangat berkembang pesat dengan munculnya karya para ulama, baik yang berbahasa arab lebih-lebih berbahasa lokal, seperti bahasa jawa dan sunda. 

Tradisi menulis yang berkembang dikalangan para ulama tersebut didorong oleh beberapa hal, diantaranya adalah:
  1. Kesadaran bahwa sumber-sumber ajaran Islam, baik tauhid, fiqih, tasawuf, falak, politik dan lainnya, kebanyakan berbahasa Arab, sementara masyarakat yang menjadi santrinya adalah orang nusantara yang bukan berbahasa Arab.
  2. Kesadaran bahwa menuntut ilmu adalah pekerjaan yang sangat sulit, membutuhkan waktu yang sangat lama, butuh perjuangan dengan disertai ketahanan diri dari segala ujian.[19]

Dari kesadaran-kesadaran di atas, maka muncul semangat untuk mempermudah para santri dalam mempelajari ilmu agama yang sangat sulit tersebut. 

Sehingga KH. Tb. Ahmad Bakri dengan riwayat yang mutawatir bahwa beliau pernah berkata kepada para santrinya untuk membaca dan mempelajari karya ulama-ulama yang sudah berbahasa melayu atau sunda, seperti karyanya al-Habib Utsman mufti Batawi, karena mereka sudah terbukti ikhlas dan termasuk Waliyullah.

4. Tradisi dan Budaya
Mengingat nusantara ini terdiri dari banyak pulau, suku bangsa, agama dan bahasanya lengkap dengan tradisi serta adat istiadat yang beragam, maka untuk mengetahui dan memahami karakteristik dari Islam Nusantara itu sendiri. 

Maka penelitian akan tradisi dan budaya menjadi penting yang tidak boleh diabaikan.

5. Letak Geografis
Disamping, tradisi dan budaya, membaca dan memahami letak geografis juga menjadi penting untuk ditelaah. 

Mengingat karakter dan pola pikir manusia itu sedikit banyaknya dipengaruhi oleh tempat dimana ia tinggal. 

Oleh karenanya, cara berfikir orang desa akan berbeda dengan orang yang tinggal di kota, orang pesisir tentu akan berbeda dengan orang yang tinggal di pegunungan. 

Bahkan seseorang yang asalnya tinggal di kampung dan kemudian urban ke kota, maka akan mempengaruhi pola pikir dan gaya hidupnya.

Demikianlah beberapa hal yang menjadi cakupan dalam penelitian Islam Nusantara. 

Dengan hal-hal di atas diharapkan dapat memotret Islam Nusantara yang kemudian bisa dikembangkan sehingga menjadi ciri khas keragaman di negeri ini.

Adapun pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka penelitian Islam Nusantara antara lain adalah:

1. Historis

Teori Masuknya Islam ke Indonesia

Islam di Nusantara adalah agama pendatang, karena sebelum Islam datang ke Nusantara, pribumi telah menganut kepercayaan dan agama tertentu. 

Kepercayaan yang berkembang pra-Islam adalah kepercayaan kepada roh yang disebut animisme, terutama roh para leluhurnya. 

Mereka meyakini bahwa roh nenek moyang mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat keturunannya. 

Sehingga secara rutin, mereka membuat patung nenek moyangnya dan melakukan persembahan demi menghindari murka dari para leluhurnya.

Agama yang telah berkembang di nusantara pra-Islam adalah Hindu dan Budha. 

Hal ini ditandai dengan banyaknya peninggalan candi yang menjadi tempat suci bagi mereka seperti Candi Prambanan, Candi Mendut dan Borobudur.

Mengenai datangnya Islam ke Indonesia, banyak teori yang berusaha menjelaskannya. Diantaranya:

1. Toeri Gujarat
Yang pertama kali mempublikasikan bahwa Islam masuk ke Indonesia di bawa oleh para Saudagar dan Muballigh dari Gujarat adalah Snouck Hurgronje dan J. Pajnipel. 

Para pedagang itu masuk ke Indonesia pada abad ke-8 Masehi. Teori ini diperkuat dengan adanya jalur perdagangan Indonesia-Cambay. 

Selain itu, sebagai bukti bahwa Islam datang dari Gujarat ini diperkuat dengan adanya nisan Raja Malik As-Saleh yang bercorak Gujarat serta bertuliskan tahun 1297 serta Islam bercorakkan tasawuf sebagaimana yang berkembang di Gujarat pada saat itu.

2. Teori Arab
Berdasarkan teori ini, Islam diyakini datang langsung dari Arab, yakni Makkah dan Madinah yang dibawa oleh para Mubaligh. 

Teori ini didukung oleh beberapa bukti, diantaranya: Adanya perkampungan Islam di pantai Barus, Sumatera Barat yang bernama Ta-Shih, dimana Ta-Shih ini adalah sebutan bagi perkampungan Arab oleh orang-orang Cina. 

Bukti ini terdapat pada dokumen dari Cina yang ditulis oleh Chu Fan Chi yang mengutip catatan seorang ahli geografis, Chou Ku-Fei bahwa ada catatan pelayaran dari wilayah Ta Shih ke Jawa selama 5 hari. Dalam catatan tersebut tertulis angka 625 Masehi. 

Apabila memperhatikan angka tersebut, berarti selisih 9 tahun dari kenabian, telah ada sahabat Nabi yang berlayar ke Nusantara dan membentuk perkampungan Arab.

Perkembangan Islam di Indonesia

1. Perkembangan Islam di Sumatera
Berdasarkan teori Arab, wilayah Sumatera adalah wilayah dimana Islam pertama kali masuk ke Indonesia yang ditandai dengan berkembangnya kerajaan Islam, Peureulak dan Samudera Pasai pada abad ke-14. 

Raja Peureulak dan Pasai giat pula membantu penyiaran Agama Islam ke Minangkabau.

Pedagang-pedagang Islam dari Malaka masuk ke daerah Palembang dan Raden Rahmat merupakan penyebar agama Islam yang paling berjasa di sana dan Raja Palembang pertama yang bergelar sultan adalah Sultan Abdurrahman.

2. Perkembangan Islam di Kalimantan
Islam masuk ke Kalimantan sekitar abad ke-16 Masehi yang dibawa oleh Muballigh dari pulau Jawa, yaitu dari Demak. 

Setelah masuk Islam, kerajaan Kalimantan yang awalnya bernama Negara Dipa dirubah menjadi Kerajaan Banjarmasin. 

Dari Banjarmasin ini, Islam kemudian berkembang ke kota Waringin dan sekitarnya.

3. Perkembangan Islam di Sulawesi
Pada abad ke-17 Masehi, Islam masuk ke Sulawesi oleh pedagang muslim yang terkenal dengan nama Datuk Ri Bandang. 

Kerajaan Gowa-Tallo berpusat di Makasar dan menjadi pusat perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur.

Raja Gowa Tallo masuk Islam pada tahun 1604 Masehi yang bernama Daeng Manrabbia yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Alaudin Awalul Islam. 

Setelah rajanya memeluk Islam, maka para menterinya pun mengikuti jejak rajanya berbaiat memeluk agama Islam.

Dari Makasar, Islam terus berkembang ke pedalaman Sulawesi Selatan, lalu ke Buton, Bima dan Sumbawa di Nusa Tenggara dan semakin pesat pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin yang berkuasa tahun 1655 – 1670 Masehi.

4. Perkembangan Islam di Nusa Tenggara
Karena Bima dan Sumbawa termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Gowa Tallo, maka dengan sendirinya Islam dapat masuk dan berkembang pesat di daerah tersebut. 

Selain berdagang, para saudagar muslim itu pun giat menyebarkan ajaran agama Islam, tentu dengan jalan dan cara yang baik. 

Sehingga dengan mudah Islam dapat diterima oleh penduduk Bima dan Sumbawa.

5. Perkembangan Islam di Maluku dan Irian Jaya
Sejak dahulu, Maluku telah menjadi pusat perhatian para saudagar dari dalam dan luar negeri, mengingat Maluku merupakan daerah penghasil rempah-rempah yang baik terutama cengkeh, pala dan lada yang sangat dibutuhkan dunia. 

Sehingga banyak pula para pedagang Islam yang datang dari Arab, Persia dan India, termasuk para Muballigh dari pulau Jawa, yang selain berdagang, mereka pun aktif berdakwah. 

Setelah Raja Ternate dan Tidore yang berada di wilayah kepulauan Maluku masuk Islam, maka semakin pesat perkembangan Islam di Maluku.

Sementara di Irian Jaya, pada awalnya penduduk disana sangat tertutup dari pengaruh apalagi agama dari luar.

Namun karena penduduk di pulau sekitarnya telah memeluk agama Islam, maka sedikit demi sedikit mereka mulai membuka diri dan kemudian banyak yang masuk Islam.

6. Perkembangan Islam di Jawa

Sebelum Wali Songo
Konon sebelum masa wali songo menyebarkan agama Islam di pulau Jawa ini, telah datang mubaligh utusan dari Arab yang bernama Syekh Subakir untuk berdakwah di tanah Jawa.

Akan tetapi, kegiatan dakwah tidak berkembang dengan pesat dikarenakan watak beliau yang sangat keras yang berakibat kurang simpatiknya penduduk pulau jawa untuk mengikuti dakwah beliau. 

Selain berdakwah, tugas beliau ke tanah Jawa ini adalah untuk menundukkan dedemit atau bangsa Jin yang berkuasa dan selalu mengganggu masyarakat. 

Karena dakwah Syekh Subakir tidak berkembang, maka diutuslah Syeikh Maulana Malik Ibrahim untuk menggantikannya berdakwah di Tanah Jawa ini. 

Syeikh Maulana Malik Ibrahim datang ke tanah Jawa pada tahun 1379 Masehi. 

Beliau datang ke Tanah Jawa dengan membawa ilmu dan akhlak yang baik. 

Sehingga dengan mudah bisa mendapatkan tempat di hati penduduk Jawa.

Masa Wali Songo
Wali Songo berasal dari dua kata, yakni wali yang artinya ulama sedangkan Songo berarti Sembilan. 

Dengan demikian, Wali Songo berarti pendakwah islam yang berjumlah Sembilan orang. Mereka adalah:
  1. Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari negeri Arab
  2. Raden Rahmat yang bergelar Sunan Ampel dan berasal dari negeri Campa, Aceh.
  3. Maulana Ainul Yaqin yang bergelar Sunan Giri putra dari Maulana Ishak seorang Mubaligh dari Pasai
  4. Syarifudin yang bergelar Sunan Drajat
  5. Maulana Makhdum Ibrahim yang bergelar Sunan Bonang
  6. Raden Mas Said yang bergelar Sunan Kalijaga
  7. Syeikh Ja’far Shodiq yang bergelar Sunan Kudus
  8. Raden Prawoto yang bergelar Sunan Muria, putra dari Sunan Kalijaga
  9. Syeikh Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati

Para Wali Songo ini menyebarkan Islam dengan penuh hikmah tanpa kekerasan serta dengan menggunakan pendekatan tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat pada saat itu yang kental dan sudah mengakar sebagai warisan hindu. 

Bahkan melalui kesenian, baik seni musik, pagelaran wayang, sastra, permainan anak, bahkan sesekali dengan jalan adu kesaktian dengan orang yang terang-terangan menentangnya.

2. Sosiologis-Antropologis
Mengingat Nusantara ini adalah wilayah yang majemuk dengan adat dan budaya serta bahasa yang beragam.

Maka dalam corak keberagamaan pun akan banyak dipengaruhi oleh adat dan budayanya masing-masing. 

Di Pulau Jawa misalnya, karena pengaruh ajaran hindu sudah mengakar kuat di penduduk jawa ini, maka pengaruh-pengaruh tersebut masih sangat kuat, bahkan sampai sekarang masih ada peraktik yang berbau hindu, seperti nadran.

Sehingga apabila ingin memotret penduduk jawa, maka dari segi komitmen keberagamaan terbagi menjadi dua bagian, yaitu kaum abangan dan kaum putihan atau santri. 

Kaum putihan adalah kaum yang senantiasa taat dalam menjalankan semua kewajiban agama, seperti sholat lima waktu, puasa, zakat dan ibadah haji. 

Mereka melaksanakannya secara terus menerus dan penuh kesadaran sebagai bukti kehambaannya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. 

Dalam perkembangannya, kaum putihan ini dikenal dengan istilah santri atau kaum sarungan.

Dengan berbekal ilmu dan keyakinannya, kaum santri mampu melepaskan diri dari keterpengaruhan ajaran dan tradisi Hindu-Budha yang sudah berkembang dan mengakar sejak sebelum Islam datang dan berkembang di tanah Jawa ini.

Bagi mereka melaksanakan ibadah adalah sebuah kewajiban yang mengikat bagi semua pemeluk agama Islam tanpa kecuali. 

Hakikat ibadah adalah untuk kepentingan orang yang melaksanakannya, bukan untuk menambah kemuliaan Allah SWT. 

Karena sifat ketuhanan Allah SWT itu berdiri sendiri tanpa ketergantungan pihak lain. 

Sementara kaum abangan adalah mereka yang beragama Islam, tapi enggan melaksanakan semua kewajiban ibadah yang tertuang dalam rukun Islam. 

Bagi mereka, Islam tidak lain hanyalah agama Arab, sehingga bagi mereka enggan untuk melaksanakan semua perintah agama dengan sepenuh hati. 

Bagi mereka, melaksanakan ibadah tidak lebih penting dari pada berbuat baik dan berlaku jujur. 

Mereka tidak terlalu mementingkan ritual ibadah, karena kesucian diri adalah menjadi persoalan individu, masing-masing. 

Bagi mereka, tempat ibadah itu bukanlah masjid, vihara atau gereja, tapi di dalam hati.

Perbedaan pandangan seperti ini sudah berkembang sejak kedatangan Islam ke tanah Jawa yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran animisme.

Serta apa yang disebut sebagai pemikiran dan praktik hindu-budha yang bergabung menjadi satu dan menawarkan lahan subur bagi magis, mistisisme dan pengagungan jiwa-jiwa yang sakti, pemujaan arwah dan penyembahan tempat-tempat keramat, dan pada saat yang sama menerima unsur-unsur Islam yang pada akhirnya membentuk sebuah peradaban jawa tengah yang disebut kejawen.

Unsur-unsur dalam kejawen diyakini berasal dari periode hindu-budha dalam sejarah jawa yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat dalam pengertian sebuah sistem tertentu mengenai prinsip bertindak dalam kehidupan. 

Sebagai sebuah pemikiran, kejawen ini sungguh sangat rumit, karena meliputi kosmologi dan mitologi. 

Muatan-muatan ini memunculkan antropologi jawa, sebuah sistem tentang watak manusia dan masyarakat yang pada akhirnya mewarnai etika, adat istiadat dan gaya hidup[20].


KESIMPULAN
  • Indonesia sebagai sebuah Negara majemuk yang terdiri dari banyak pulau dengan adat dan tradisi serta bahasa dan agama yang berbeda, merasa berkepentingan untuk tetap menjaga kesatuan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
  • Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam merawat dan menjaga NKRI, karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan toleransi adalah alat untuk menghadapi plurarisme. 
  • Islam Nusantara adalah sebuah ikhtiar untuk menjaga karakteristik keberagamaan umat Islam Indonesia ditengah-tengah globalisasi dan modernitas. 

DAFTAR PUSTAKA
  • Abu Bakar, Syaikh, Al-Anwarussaniyah, al-Haramain, tt
  • Abdurrahman, Sayyid, Bughyat al-Mustarsyidin, Maktabah ‘Alawiyah, tt
  • Hasbi Ash-Shiddiqie, Tengku M, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997
  • Mulder, Neils, Mistisisme Jawa, LKIS, 2001
  • Zakaria al-Anshori, Abu Yahya, Syarah Ghoyatul Wushul, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt
  • http//www.gurupendidikan.co.id
  • http//www.Republika.co.id
  • http//www.nu.or.id

[1] Yang dikmaksud khalifah disini bukanlah khlaifah secara politis, tapi khalifah secara fungsional. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Jalaludin As-Suyuthi dalam kitabnya Tafsir al-Jalalain bahwa yang dimaksud khalifah disini adalah manusia sebagai wakil atau pengganti Allah SWT di muka bumi dalam rangka pemeliharaan hukum-hukum-Nya di bumi (Tafsir Jalalain, hal : 6) 

[2] Lebih jauh lagi Syekh Abu Bakar dalam kitabnya al-Anwar As-Saniyyah menjelaskan bahwa ketika seseotang telah menda’wakan dirinya ber-Islam, maka harus mengakui dan menerima segala hukum-hukum Islam dengan tidak membantah atau mengingkarinya, baik ia bisa melaksanakannya ataupun tidak. Al-Awaru As-Saniyyah hal : 29

[3] www.gurupendidikan.co.id
[4] ibid
[5] ibid
[6] Republika.co.id

[7] Beliau adalah dosen Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqoyyah (INTIKA) Guluk-Guluk, Sumenep Madura

[8] Konfigurasi Islam Nusantara : dari Islam Santri, Abangan hingga Priyayi (www.nu.or.id)

[9] Beliau adalah Katib Syuriah PBNU, guru utama fiqih dan ushul fiqih di Ma’had ‘Aly Pesantren Salafiyah as-Safi’iyah Sukorejo, Situbondo juga penulis Fathul Mujib sebagai Syarah kitab Taqrib.

[10] Maksud Istilah Islam Nusantara (www.nu.or.id)

[11] Beliau adalah Direktur Pascasarjana STAINU-UNUSIA Jakarta

[12] Islam, NU dan Nusantara (www.nu.or.id)

[13] Beliau adalah praktisi tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian dan kebudayaan

[14] Islam Nusantara : Ajaran Langit yang Membumi (www.nu.or.id)

[15] Banyak ulama yang berpendapat tentang ta’rif dari al-Qur’an, diantaranya adalah:
  1. Para ulama ushul fiqih berpendapat bahwa al-qur’an adalah nama bagi keseluruhan al-Qur’an dan bagian-bagiannya.
  2. Menurut ulama ahli kalam bahwa al-Qur’an adalah kalam azali yang berdiri pada dzat Allah SWT yang senantiasa bergerak dan tak pernah ditimpa suatu bencana
  3. Al-Alusy dalam ruhul bayan menjelaskan bahwa para mutakallimin member nama al-Qur’an atas kalam Allah SWT yang gaib dan azalli mulai dari al-Fatihah sampai an-Nas itu adalah lafadz-lafadz yang terlepas dari sifat kebendaan, baik secara dirasakan, dikhayalkan atau lainnya yang tersusun pada sifat-sifat Allah yang qadim.
  4. As- Suyuti dalam al-Itman mengatakan bahwa batasan dari kata al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tak dapat dikalahkan oleh para penentangnya, walau pun hanya satu ayat.
  5. As-Syaukani dalam al-Irsyad mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ditilawatkan dengan lisan lagi mutawwatir penukilannya (Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy : 3-5).
[16] Istilah lain dari Hadits adalah as-Sunnah yang artinya adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW, (Al-Anwarussaniyyah : 27)

[17] Ijma adalah konsensus para ulama pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dalam memutuskan suatu masalah (Syarah Ghoyatul Wusul : 107

[18] Menurut bahasa, Qiyas berarti memperkirakan atau membandingkan. Sedangkan menurut istilah adalah menyamakan suatu terhadap sesuatu yang lain karena terdapat kesamaan dalam illat hukumnya (Syarah Ghoyatul Wusul : 110)

[19] As-Sayyid al- Hadramiy menjelaskan bahwa kesuksesan seorang pelajar adalah ketika berkumpulnya akal yang cerdas, menetapi adab, pemahaman yang baik, guru yang sabar, tawadlu’ dan akhlak yang terpuji (Bughyah al-Mustarsyidin : 4)

[20] Niels Mulder, Mistisisme Jawa, Ideologi di Indonesia : 1-3
Beliau adalah seorang Antropolog dari Belanda yang dengan insten mengamati mistik Jawa dan Muangthai.

(ezs/sol)