Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kekuatan Kohesi Sosial Indonesia Di Tengah Wacana Tunda Pemilu 2024

Jadusin, S.Sos, S.I.P, M.Si.,
Oleh: Jadusin, S.Sos, S.I.P, M.Si.,

Purwakarta Online - Histori bangsa ini telah melewati empat kali proses amandemen UUD. Amandemen ke-4 terjadi 20 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2002.

Wacana tunda pemilu muncul kisaran tahun 2021 yang lalu, lantas heboh tahun 2022 ini. Disaat keeratan sosial terus menguat lantaran hantaman covid-19, justru 3 Ketum Parpol menyampaikan ide kajian terkait tunda pemilu 2024.

Wacana ini bukan merusak demokrasi yang konstitusional, namun memungkinkan munculnya sebagian kekuatan kohesi sosial dalam bernegara.

Jika amandemen terkait perpanjangan masa jabatan presiden atau dengan menambah periode masa jabatan presiden sesuai tahapan dan regulasi yang ada dengan pertimbangan yang objektif aspirasi rakyat tentu tidak harus sempurna (disetujui seluruh masyarakat indonesia).

Teori sosial hanya mampu menganalisa kehidupan sosial masa depan bangsa dalam ketatanegaraan dengan teori hukum, ekonomi, pertahanan, budaya dan lainnya dengan dasar awal berupa riset, survei (Big Data), reses dan sejenisnya.

Namun untuk memastikan bahwa itu adalah benar-benar aspirasi rakyat yang totalitas, tentu membutuhkan kajian lebih lanjut. Di negara ini belum ada lembaga survei atau sejenisnya yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam menentukan seberapa banyak warga yang setuju dan tidak setuju terhadap wacana tunda pemilu.

Harapan rakyat tentu pada Mahkamah Konstitusi (MK) dan Partai Politik agar wacana ini benar-benar dikaji dengan dasar aspirasi rakyat. Masa jabatan Presiden dua periode apakah ideal untuk mensejahterakan rakyat? Atau apakah masa jabatan tiga periode merusak demokrasi? Apakah wacana ini menjauhkan rakyat dari kesejahteraan?

Tentu ini masih misterius, karena banyak pihak yang terlibat dengan kepentingan yang berbeda. Harapan terakhir rakyat adalah kesejahteraan dengan bumbu kohesi sosial, terlepas wacana ini terwujud atau hanya viral tanpa ada fakta politik hukum amandemen di ruang MPR-MK.

Implikasi dari adanya ruang demokrasi dalam bernegara memberikan kebebasan mengeluarkan ide-ide atau mewacanakan semua hal di negeri ini, termasuk ide tentang menunda pemilu atau perpanjangan periode masa jabatan presiden.

Merealisasikan amandemen tentu tidaklah mudah, namun 'kemungkinan' adalah keniscayaan. Kita harus memastikan bahwa rakyat mengawal wacana ini, agar jika pun tunda pemilu terwujud atau tidak adalah benar-benar atas kehendak rakyat, bukan hanya keinginan MPR-Mahkamah Konstitusi.

Seandainya terjadi tunda pemilu sejatinya juga adalah benar keinginan mayoritas dari rakyat dan sesuai mekanisme hukum. Terjadinya pro dan kontra adalah hal lumrah, selagi nuansa kohesi sosial-persatuan dalam membangun bangsa terus dibenahi oleh elit politik dan semua pihak.

Rakyat telah memilih wakil rakyat (DPR dan DPD), semua pihak memberikan ruang kepada MPR untuk untuk mempertimbangkan semua aspek dan memberikan ruang kelak pada MK jika proses ini berlanjut.

Mungkinkah rakyat sebagian tidak lagi percaya terhadap Parpol dan Wakil Rakyat di Senayan? Sehingga muncul kecemasan rakyat akan adanya BEKADUR alias Bisik-bisik Kekalkan Kekuasaan Dengan Rugikan Rakyat.

Kecemasan itu wajar tentu dengan tidak memberikan kalimat-kalimat yang tidak bernuansa progresif kepada warga yang pro terhadap wacana tunda pemilu agar kebersamaan sesama warga tetap ada.

Varian kohesi sosial begitu banyak, mulai dari aspek solidaritas, menerima perbedaan, semangat nasionalisme, profesionalisme individu-kelompok, toleransi, gotong royong, saling memaafkan, dialog, kerja keras bersama dengan ide positif secara kolektif.

Kemudian menjaga nilai dan moral secara bersama dalam wilayah desa sampai aspek negara di semua sektor, merumuskan kesepakatan baru serta memastikan mimpi masa depan bersama adalah kesejahteraan yang bernuansa Pancasila.

Wacana tunda pemilu sebaiknya dijadikan bumbu untuk mengisi waktu agar didiskusikan oleh warga baik di warung, di kebun, di kampus, di pasar dan di manapun sebagai berkah sebagai negara demokrasi dengan terus memastikan dimensi kohesi sosial jangan jauh merusak esensinya yakni kesejahteraan dengan nuansa pancasila baik yang pro tunda pemilu maupun yang kontra tunda pemilu.

Setiap warga memastikan melakukan perannya yang menyejukkan di semua pranata di manapun berada sehingga negara ini kokoh, damai, sejahtera dalam kebersamaan diatas perbedaan (Bhineka Tunggal Ika). Tunda pemilu boleh diwacanakan dengan berbagai argumen, regulasi dan fakta aspirasi rakyat, namun kohesi sosial Tidak boleh ditunda untuk diwujudkan. (*)

* Penulis adalah Jadusin, S.Sos, S.I.P., M.Si., tokoh muda Indonesia yang aktif di bidang pendidikan, sosial dan budaya. Beberapa aktivitas penulis saat ini diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Ketua Dewan Pembina Yayasan Limhar Adab Nasional (YaLhan) Kecamatan Tongkuno, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara,
  • Dosen Tetap Fisip Universitas DarussaLam (UniDaR) Ambon, Maluku sejak 2009- sekarang,
  • Dosen tidak tetap IAIN Ambon Jurusan Sosiologi Agama,
  • Dosen Tidak Tetap Poltekes Kemenkes Maluku Prodi Gizi Mata Kuliah Sosiologi A,
  • Pendiri Lembaga Pendidikan Gratis (LEPaS) Provinsi Maluku,
  • Penerima Beasiswa Kemendikbud dari jenjang SLTA sampai Pendidikan Sarjana,
  • Penerima Beasiswa dari Negara Singapura untuk S-2 Sosiologi di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makasar, Tamat Magister Tahun 2009 di Unhas.