Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tradisi Melarung Sesajen untuk Buaya Kuning di Kalimantan

Purwakarta Online - Kultur sungai sangat erat dan mempengaruhi tradisi masyarakat Banjar. Terkhusus, mereka yang tinggal di tepian Sungai Barito dan Martapura. Salah satu tradisi yang masih dijaga masyarakat Banjar adalah malabuh. Mereka percaya bahwa datuk, kakek atau turunannya memiliki hubungan dengan makhluk gaib.

Mahluk supranatural bahkan dipercaya nyata adanya itu yaitu Buaya Kuning, Buaya Putih, Naga Laki dan Naga Bini. Dikutip dari Instagram Habar Banua, diinformasikan seorang ibu bernama Mastiah, warga Kampung Hijau RT 1 Kelurahan Sungai Bilu, Kecamatan Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin masih melakoni tradisi malabuh.

Keluarga besar ini pun menyiapkan sesajen dari tradisi malabuh yang menjadi rangkaian upacara mandi hamil 7 bulanan atau malabuh tahunan bagi keluarga. Keluarga besar Masitah pun percaya masih memiliki ikatan dengan makhluk gaib.

Mereka pun melarung sesajen di atas Sungai Martapura untuk makhluk gaib buaya kuning berisi upung (mayang kandung dari pohon pinang) yang melambangkan badan, bogam (rangkaian bunga melati kenanga dan mawar) menyimbolkan telinga.

Kemudian, pisang mahuli sebagai simbol gigi, ketan kuning dan telur ayam kampung yang melambangkan perut dan pusar. Termasuk, sasuap yang berisi bungkusan daun sirih, buah pinang, rokok dari tembakau serta daun nipah.

Bagi keluarga Mastiah, sesajen itu juga melambangkan lima rukun Islam yang menandakan adanya ikatan kuat kultur Banjar dengan tradisi Islam.

“Tradisi malabuh ini merupakan sebuah kewajiban turun temurun dair keluarga kami yang memiliki ikatan dengan makhluk gaib tersebut. Ini dilakukan setiap tahun sekali bagi orang dewasa, untuk mandi-mandi tujuh bulanan saat hamil. Serta, saat bayi umur 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan,” papar Mastiah, seperti diinformasi dalam instagram Habar Banua.

Antropolog FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Nasrullah pun mengakui dalam kajian antropologi, dipercayai ada kekuatan yang di luar batas manusia.

“Ya, termasuk dalam hal ini adalah kepercayaan animisme adalah kepercayaan terhadap roh yang mendiami semua benda, atau dinamisme atau kepercayaan terhadap sesuatu. Kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup,” papar Nasrullah kepada jejakrekam.com, Senin (26/2/2018).

Sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini juga menjelaskan adanya totemisme atau kepercayaan terhadap kekuatan makhluk di luar manusia.

“Dalam tradisi masyarakat Banjar, sebagian mempercayai adanya kekuatan dari buaya kuning, buaya putih, naga laki dan naga bini yang bersemayam di sungai-sungai. Ya, tradisi ini juga erat kaitannya dengan kultur sungai atau ekologi air dalam masyarakat Banjar,” tutur Nasrullah.

Menurut dia, terkadang dalam pengalaman empiris juga dikaitkan dengan dunia kesehatan. Sebab, pengobatan medis modern justru dipercaya sebagian masyarakat Banjar tak sampai pada pokok persoalan atau media penyembuhan.

“Jadi, masyarakat berpindah kepada keyakinan yang dianggap irasional. Ini merupakan bukti di tengah modernitas, kepercayaan atau rasio semacam itu masih ada,” ucap Nasrullah.

Bahkan, dia mengatakan di negara-negara maju seperti di belahan Eropa juga mempercayai kekuatan di luar kemampuan manusia. Nasrullah mencontohkan saat Piala Dunia, justru para binatang seperti gajah, gurita dan lainnya dijadikan peramal dalam sebuah laga pertandingan.

“Jangan sampai kepercayaan semacam itu jangan dikaitkan dengan predikat masyarakat terkebelakang atau tidak modern. Justru, masyarakat modern seperti di Eropa yang sangat rasional, fenomena semacam itu malah terjadi. Seperti kesebelasan Manchester United yang digelari setan merah, karena ada logo naga bermahkota yang merupakan makhluk mitos,” papar Nasrullah.

Video Sejarah Mitos Buaya Kuning Kalimantan


Bagi dia, tradisi seperti malabuh dan sebagainya mengisi celah-celah di tengah masyarakat modern.

“Istilahnya, ya totemisme atau sebuah persekutuan antara manusia dengan binatang dalam mistik sebagai pelindung atau sumber kekuatan bagi manusia,” kata Nasrullah.

Walau tak dipungkirinya, sebagian besar masyarakat Banjar yang kental dengan ajaran agama Islam pasti menganggap hal itu sebagai sebuah perbuatan syirik.

“Namun, dalam kultur budaya, fenomena semacam itu tetap dijaga termasuk masyarakat Banjar. Mengapa budaya seperti ini tidak dijadikan sebagai potensi wisata budaya bagi Banjarmasin,” imbuhnya. (*)

Sumber: Jejak Rekam