Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Inilah sebab-sebab anak menjadi nakal

sebab-sebab-kenakalan-anak-remaja

PENYEBAB ANAK NAKAL

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan anak menjadi anak nakal. Yaitu, faktor yang berasal dari eksternal dan faktor yang berasal dari internal. faktor eksternal lebih dominan dibandingkan dengan faktor internal.

Faktor eksternal yang muncul, yaitu perceraian orang tua, kurangnya komunikasi orang tua dan anak, pola asuh orang tua yang salah, pengaruh teman dan dorongan keluarga dan lingkungan sosial. Sedangkan faktor internal yang muncul, yaitu kontrol diri yang lemah dan proses pencarian identitas diri.

Kenakalan remaja yang ada di Indonesia merupakan produk dari konstitusi mental serta emosi yang sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap anak (dalam Soekanto, 2005). Untuk itu, timbulnya kenakalan pada remaja bukan murni dari dalam diri anak tersebut akan tetapi, kenakalan itu berasal dari efek samping hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh anak dalam keluarganya.

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara terhadap informan menyebutkan bahwa motif yang menyebabkan anak menjadi delinquent disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Salah Pergaulan


Pengaruh lingkungan terhadap manusia bisa mengubah tingkah laku, baik itu positif atau negatif. Lingkungan seorang anak yang masih labil pada umumnya memiliki kehidupan yang beragam sehingga anak membutuhkan sosialisasi terhadap lingkungannya tersebut.

Kehidupan seorang anak akan terus berkembang secara normal dan bertahap sesuai dengan perkembangan umur, baik perilaku sosialnya di dalam kehidupan keluarganya ataupun di masyarakat. Ketika proses pergaulan tersebut tidak dapat berjalan secara normal pada anak yang belum matang kepribadiannya, maka akan sangat terpengaruh oleh teman dalam lingkungan pergaulannya.

Apabila pergaulan yang dimasuki seorang anak adalah lingkungan yang sehat, maka seorang anak berkembang secara sehat akan tetapi, bila lingkungan tersebut tidak sehat, maka anak tersebut akan tumbuh secara tidak sehat. Untuk itu, pola perilaku seorang anak tidak bisa terlepas dari pola perilaku anak-anak lain di sekitarnya.

Menurut Kartono (2005 : 126) lingkungan merupakan faktor terkuat dalam mempengaruhi pola perilaku seseorang, dimana kebiasaan-kebiasaan tersebut lambat laun akan diadopsi oleh individu-individu tertentu

2. Rumah Tangga Berantakan


Apabila rumah tangga terus dipenuhi konflik antar kedua orang tua yang serius pada akhirnya berakibat ketidakharmonisan dalam keluarga dan perceraian, akibatnya anak akan mengalami konflik batin seperti tidak betah tinggal di rumah, ada rasa cemas dan tertekan. Salah satu cara untuk mengatasi persoalan tersebut yaitu dengan melampiaskan kemarahannya dalam bentuk konflik terbuka dan perkelahian.

Akibatnya anak bisa menjadi nakal, tidak mau lagi mengenal aturan dan norma sosial serta bertingkah semaunya sendiri. Selain itu, rumah tangga yang berantakan dapat membawa pengaruh psikologis buruk terhadap perkembangan mental anak, dikarenakan mereka kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan.

3. Perlindungan Orang tua secara berlebihan


Bila orang tua terlalu berlebihan memberi perhatian, perlindungan, memanjakan anak dan menjauhkan anak dari berbagai kesulitan maka dapat memberikan pengaruh yang buruk terhadap perkembangan anak, seperti anak tidak bisa belajar mandiri. Anak akan selalu bergantung terhadap orang tua, tidak ada rasa percaya diri dan cemas sehingga tanpa adanya bantuan dari orang tuanya, mereka akan patah semangat dan tidak berani menghadapi berbagai masalah yang ada.

4. Kurang Perhatian Orang tua


Dalam keluarga orang tua harus menciptakan sebuah hubungan yang baik kepada anak-anaknya. Adapun yang diharapkan dari hubungan tersebut ialah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketentraman. Hal tersebut merupakan proses sosialisasi yang baik bagi anak. Perilaku anak nakal yang terdapat di panti rehabilitasi Wonorejo merupakan salah satu gejala ketidak-berfungsian proses sosialisasi orang tua terhadap anak dalam mengontrol perilaku seorang anak dalam kehidupan sosialnya sehari-hari.

Secara teoritis terdapat anak-anak yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga, hal ini dapat dilihat bahwa sikap orang tua dalam sosialisasi terhadap anak juga berpengaruh terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan. Keluarga memiliki peran penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak.

Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nila-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Oleh karena itu keluargalah yang menentukan suatu individu menjadi individu yang sehat dari lahir dan batinnya.

Keluarga merupakan pijakan pertama bagi individu untuk mendapatkan segala aspek nilai-nilai. Akan tetapi, tidak sedikit peran keluarga pada perkembangan anak tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan pribadinya, orang tua tidak memberikan peran aktif kepada anak di dalam keluarga, orang tua kurang memberikan perhatian kepada anak-anak.

Hal itu seringkali terjadi di daerah perkotaan yang kedua orang tuanya mempunyai pekerjaan yang terlalu sibuk sehingga tidak perduli dengan perilaku keseharian seorang anak. Mereka yang sangat minim sekali memiliki waktu bertemu dengan kedua orang tua. Lain lagi dengan anak yang selalu diperhatikan dan dekat dengan orang tuanya maka anak akan bersikap jujur dan terbuka terhadap orang tuanya.

Menurut Kartono mengungkapkan bahwa motif yang mendorong seorang anak dan remaja melakukan kenakalan ialah salah satunya yaitu salah didik orang tua sehingga anak menjadi manja dan lemah mentalnya, seperti yang terjadi pada subyek penelitian, mereka lebih banyak memiliki mental yang lemah sehingga mudah terpengaruh oleh perilaku lingkungan yang buruk, kurang mampu menyeleksi perilaku-perilaku mana yang dianggap positif ataupun negatif. Kurangnya perhatian orang tua, sering mendorong anak untuk membangun citra bahwa dirinya mandiri dan mampu hidup tanpa bantuan siapapun, citra diri itu berusaha keras ditampilkan untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya.

Salah satu sikap yang dilakukan dengan cara menjadi pengamen. Pada saat uang yang diberikan orang tua kurang memenuhi kebutuhannya maka anak juga akan mengambil uang ibunya.

Padahal dalam dirinya tersimpan rasa kecewa, marah, sakit hati karena dia tidak dipedulikan oleh orang tuanya, sementara anak juga menyimpan persepsi yang buruk terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu tanpa sadar semua perasaannya diekspresikan melalui tingkah laku yang aneh-aneh yang orang lain menyebutnya ‘nakal’ dan ‘menyimpang’.

5. Imitasi (Meniru)


Imitasi atau meniru adalah suatu proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan oleh figur panutan dengan melibatkan indera sebagai penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik. Proses ini melibatkan kemampuan kognisi tahap tinggi karena tidak hanya melibatkan bahasa namun juga pemahaman terhadap pemikiran orang lain.

Anak-anak nakal seperti anak yang suka bolos sekolah, merokok dan minum-minuman keras biasanya terjadi bukan karena kemampuan sendiri melainkan meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan sekitar tempat dimana anak-anak tersebut berinteraksi. Proses imitasi akan berkembang secara positif.

Jika individu tersebut berusaha untuk mempertahankan norma atau nilai yang berlaku di masyarakat. Sedangkan, bersifat negatif apabila individu tersebut meniru perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku dimasyarakat.

Usaha-usaha untuk mengkaji perilaku meniru secara umum dikaitkan dengan adanya dorongan pembawaan atau kecenderungan yang dimiliki oleh setiap manusia. Menurut pandangan umum, manusia cenderung untuk meniru perbuatan orang lain semata-mata karena hal itu merupakan bagian dari sifat biologis mereka untuk melakukan tindakan meniru perilaku orang lain.

6. Label Anak Nakal


Pelabelan atau pemberian cap tertentu pada seseorang atau kelompok orang sangat berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang. Seperti halnya perilaku kenakalan yang dilakukan oleh salah satu anak yang dianggap oleh masyarakat sebagai anak nakal, maka dari pelabelan itulah yang membuat anak selalu mengembangkan perilaku menyimpangnya tersebut.

Masyarakat akan memperlakukan anak sesuai dengan labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan.

Labeling akan diberikan oleh masyarakat bila anak tersebut berasal dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis dan pergaulan sehari-hari bersama anak-anak yang pengangguran dan menyimpang. Dengan memberikan label tersebut maka anak sudah dicap buruk oleh masyarakat.

Supaya label itu tidak melekat pada anak maka anak harus jera dan memperbaiki perilakunya kearah lebih baik. Orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang lain (orang tua, keluarga dan masyarakat) menilai.

Ketika seorang anak melakukan perbuatan menyimpang seringkali masyarakat langsung memberikan stigma kepada anak tersebut sebagai anak yang nakal tanpa alasan yang jelas. Hal ini malah semakin memperkuat perilaku tersebut ke dalam perbuatan menyimpang lebih jauh, pelabelan yang dimiliki oleh anak tersebut telah mempengaruhi kehidupan sehari-harinya.

Label sebagai perokok dan minum-minuman keras membuat perilakunya sangat bergantung pada rokok dan minum-minuman keras, sebab anak memandang bahwa pelabelan yang diterimanya cenderung kepada keseluruhan kepribadiannya bukan perilakunya satu persatu, sehingga dari label tersebut menjadikan anak untuk memainkan peran seluruh kepribadiannya kearah negatif.

Padahal, tidak semua pelabelan buruk itu merupakan kepribadian yang sesungguhnya. Tidak sedikit anak-anak di panti rehabilitasi sosial anak wonorejo yang berprestasi dalam bidang musik dan olahraga balap sepeda.

Ericson (dalam Djaali, 2007 : 8-9) tidak merasa bahwa semua periode penting dalam bertambahnya perbuatan yang disengaja dan kemampuan yang lebih tinggi pada masa krisis secara berturut-turut. Ericson menegaskan perkembangan psikologi terjadi karena tahapan-tahapan kritikal.

Pada situasi seperti ini, bisa terjadi prestasi atau kegagalan, sehingga dapat mengakibatkan masa depan yang lebih baik atau lebih buruk. Oleh karena itu, Ericson percaya bahwa kepribadian masih dapat dirubah dan dibentuk pada masa dewasa.

Subjek atau remaja pada penelitian ini sedang berusaha mencari dan mencapai identitas egonya masing-masing. Subjek mendapat berbagai peluang konflik yang berhubungan dengan pekerjaan, keyakinan diri, dan filsafat hidup.

Mereka mencoba-coba berbagai cara dan mencoba-coba peran baru sambil terus berusaha menemukan identitas ego yang mantap. Pada akhirnya subjek merasa bukan anak-anak lagi, dan memilih bersama kelompok yang mampu membentuk identitas dirinya yang lebih baik. (*)

* Hasil penelitian yang sangat menarik ini bisa dipelajari selengkapnya dalam sebuah Jurnal dengan judul FENOMENA ”FENOMENA ”ANAK NAKAL” DI RUNGKUT- SURABAYA, oleh Tiara Farita Sari Nadeak dari Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. 2014

* Foto: Pexels