Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Otokritik Seorang Mahasiswa


Oleh: Irman Sahrul

Saya sesungguhnya agak kecewa, mendapatkan inbox dari orang yang tidak saya kirimi pesan. Padahal Bung Kam adalah aktivis besar. Tentu saya berharap ada analisis yang lebih keji lagi dan terang-terangan. Agar di balik kesinisan saya ini, saya bisa lebih belajar dan membuat sadar diri. Bahwa apa yang saya tuliskan tidak sepenuhnya benar, atau bisa juga sepenuhnya salah.

Padahal udah lama sekali tidak cuit-cuitan di Twitter. Rasanya semacam cinta yang hilang kemudian bersemi kembali. Dulu aku mencintaimu di semester 3, kini aku sudah semester 9 sehingga wajar saja, saat ini aku sudah pergi ke lain hati. Dan ini pula yang menjadi alasanku untuk tidak berlarut dalam kegundahan masa lalu. Yang hanya membiakan kebodohan kalo bertahan pada harapan.

Namun kemudian saya belajar, bagaimana pun harapan tidak boleh lebih besar ketimbang kemungkinan, karena kenyataan lebih sering diluar ekspektasi. Bukan begitu kan? Lalu saya coba paksakan untuk menikmati, sekuat kuatnya memahami Bung!

Satu-satunya alasan saya menulis ini adalah karena saya sedang tidak ada kerjaan, sembari nunggu panggilan di perusahaan yang kadang membuat jengkel saat perusahaan mempertanyakan dimana sekolah mu? Sampai situ justru sudah menggugurkanku.

Dengan tidak ada maksud menyindir atau mempermalukan "kamu" termasuk para jomblo aktif yang tiap malam minggu keliling wiskul (Wisata Kuliner -red). Anggap saja saya sedang guyon, sama ketika saya menuliskan pesan nyasar dulu.

Wahai Mahasiswa yang budiman, dahulu saya memiliki ekspektasi dengan memakai jas kampus akan menambah keren tampilan saya, tanpa berpikir panjang tentang apa yang yang ada di pundak saya dan di kepala saya. Dengan jas tanpa topi, celana compang-camping, sepatu kusam memberikan tatapan kosong saat menatap Si Manis di pojok kampus. Ini ada yang salah dengan jas ku? Atau cara pandangan ku?

Seiring bertambahnya masa kuliah, semakin kenal dengan apa yang saya kenakan. Rumah kedua ini merupakan rumah bagi masyarakat ilmiah, yang mana setiap Masyarakat memiliki hak yang sama seperti warga negara yaitu hak atas bicara, keadilan, dan tentunya kehidupan layak.

Gelar 'Maha' yang sudah menjulang tinggi dalam pikiran tentu menuntut cara berfikir ke-ideal-an. Ilmu pengetahuan yang dipelajari bukan lagi untuk dihapal tetapi bagaimana dijadikan pada apa yang semestinya.

Saat temanmu menyimpang dari kesalahan dan Anda tahu tentang apa yang seharusnya, maka ingatkanlah itu sudah menjadi kewajiban Masyarakat intelektual dalam merespon dan memiliki kepekaan untuk mengkritik mengarahkan pada yang seharusnya, pun dengan sistem pemerintah sekalipun. Dan inilah salah satu tanggung jawab besar Mahasiswa untuk kritis terhadap kenyataan sosial yang ada.

Kita jangan lupakan pula, sejarah pernah mencatat peran Mahasiswa yang besar dalam ikut andil terhadap reformasi negara, sebut saja masa Soeharto di Indonesia tahun 1998.

Atas cita-cita yang luhur dari mahasiswa, memberikan pola cinta yang berbeda. Semangat perubahan menjadi prioritas utama ketimbang mempertahankan kebijakan yang tidak rasional.

banyak yang salah kaprah dalam penafsiran niat baik seseorang, eits.. untuk menjadi baik mungkin kejauhan, tapi minimal bisa berperan dan mengimplementasikan tanggung jawabnya sebagai seorang Mahasiswa.

Menjadi mahasiswa yang gagal dalam mencari jati diri tentunya tidak menjadikan saya orang terbodoh di dunia. Minimal setelah lulus ada waktu bertaubat kepada diri sendiri dan selanjutnya mengabdi kepada sekecil apapun kehidupan.

Masa telah berganti, mertua telah menagih janji, ayo segeralah tepati! Membangun kehidupan, melahirkan generasi baru, dengan lingkungan yang baru, semangat perubahan untuk maju.

Satu pesan teruntuk adik kelasku, jangan tiru kami. Jadilah mahasiswa yang berbakti kepada orang tua, nusa, bangsa dan agama!

Akhir pesan dari tulisan ini. Ingat loh, kami cuma becanda 🤗

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=4153251244737029&id=100001565845617