Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sarung BHS, santri dan ulama medsos


Oleh: Ramlan Maulana

Dalam tradisi pesantren, memakai sarung BHS merupakan pencapaian tertinggi santri. Sebagai indikasi bahwa tingkat pengetahuan "kitab kuning"-nya mencapai level minimalnya hapal dan paham secara khatam seribu bait alfiyah.

Ia menjadi semacam rewards bagi si santri dari orang tuanya atau bahkan kiyainya atas prestasi yang ditorehkan. Dahulu kita bisa dengan sangat mudah mengidentifikasi mana santri yang sudah matang secara keilmuan.

Kemudian mana santri yang masih unyu-unyu sekilas dari sarung yang dikenakannya. Dan BHS menjadi semacam bintang pangkat kebanggaan bagi si santri.

Kini tradisi itu kian sirna, terlebih seiring dengan laju zaman yang kian cepat. Kini siapapun bisa dengan sangat mudah memakai sarung BHS, event ia bukan santri sekalipun.

Identitas kesantrian sudah tidak bisa diukur dari faktor yang satu ini. Bahkan kini lulusan pesantren kilat saja bisa memakainya, lalu dengan sangat mudah mendadak menjadi "ulama" yang berfatwa.

Sambil mencaci "ulama-ulama" lulusan pesantren yang ketika mesantrennya dahulu pernah mengalami pencapaian dapat rewards BHS dari Kiyainya.

Indahnya menjadi santri, karena apa pun ukurannya, didasarkan atas "Ilmu" bukan hawa nafsu. Terlebih sekedar menjadi artis medsos dengan memfatwakan beberapa ayat atau hadits hasil copas dari google.

Dan itupun terjemahan, lalu mendadak menjadi "ustadz atau ulama".... Wallahu A'lam.

#ayomondok
#banggajadisantri

Purwakarta, 15 Mei 2020
Tulisan lain dari Ramlan Maulana